Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Tata Negera IKIP Yogyakarta – Prof. Lafran Pane

 LAPORAN UTAMA

Di kala Indonesia masih mencari jati diri bangsa, serta hendak mengembalikan negeri dengan basis Pancasila dan UUD 1945 yang “murni dan konsekuen”, Lafran Pane telah mendahului zamannya. Pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar di 16 Juli 1970, Lafran Pane menghadirkan gagasan tentang bagaimana konstitusi selayaknya berkembang dinamis seiring zaman untuk mewujudkan cita-cita yang diembannya. Dengan menilik tantangan yang membentang di Indonesia, maupun merefleksikan praktik serupa di Amerika Serikat dan belahan dunia lainnya.

 

Sekaligus, ia juga menghadirkan semacam abstrak peta biru perubahan landasan bernegara bangsa, yang 30 tahun kemudian baru mampu diterapkan Indonesia dalam bentuk amandemen konstitusi. Sembari mengenalkan diskursus radikal pada zamannya tentang kemungkinan seorang presiden dipilih langsung oleh rakyat alih-alih memperoleh mandatnya dari MPR.

 

Berikut petikan Pidato Lafran Pane, dikutip dari Arsip Perpustakan FIS UNY:

 

“Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur susunan negara yang tertentu. Hukum Tata Negara Republik Indonesia mengatur susunan negara Republik Indonesia. Hukum adalah himpunan norma-norma, himpunan apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya, yang diterapkan atau yang diakui oleh Pemerintah, tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat […] Isi dari pada Hukum Tata Negara dapat kita lihat pada Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah, dan peraturan-peraturan tertulis lainnya, serta pada peraturan-peraturan yang tidak tertulis. […]

 

Berubahnya isi dari pada Hukum Tata Negara berarti berubahnya peraturan-peraturan tersebut. Lepas dari pada isinya, kita dapat mengatakan dengan berubahnya Hukum Tata Negara berarti harus berubah pula peraturan-peraturan tersebut. Biarpun redaksi peraturan-peraturan tersebut tidak berubah, peraturan-peraturan tersebut tidak memuat lagi Hukum Tata Negara seperti yang berlaku semula. Atau dengan perkataan lain, peraturan-peraturan tersebut tidak lagi menggambarkan Hukum Tata Negara yang berlaku. […]

 

Tegasnya, pada waktu tertentu, suatu undang-undang menggambarkan hukum, tetapi kalau keadaan berubah mungkin undang-undang itu tidak menggambarkan hukum lagi. Mungkin satu peraturan yang tidak tertulis telah menggantikannya, menggambarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian, undang-undang maupun UUD harus senantiasa diubah sesuai dengan berubahnya hukum, sesuai dengan berubahnya penilaian mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya. Jangan sekali-sekali sesuatu yang menggambarkan sesuatu kita samakan sesuatu yang digambarkan itu. Jangan kita samakan gambar seseorang dengan orangnya. Gambar seseorang 50 tahun yang lalu sudah pasti berbeda dengan gambarnya hari ini. […]

 

Sampai sekarang ini pendirian saya mengenai wewenang MPR masih tetap seperti yang saya ajukan pada bulan Januari 1960 (lihat tulisan kedua di buku ini, “Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat”, Pidato Dies Natalis XV Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 26 Januari 1960 –ed), yaitu:

  1.  Menetapkan Undang-Undang Dasar,
  2.  Mengubah Undang-Undang Dasar,
  3.  Memilih Presiden dan Wakil Presiden,
  4.  Menetapkan garis-garis besar haluan negara.

 

Wewenang/kekuasaan melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya adalah wewenang yang bersifat umum (genus) dan empat wewenang yang saya sebut tadi adalah wewenang yang bersifat khusus (specie). Sesuai dengan yang disebut pada Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia akibat dengan dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dan ditetapkannya garis-garis besar haluan negara oleh MPR dan harus dilaksanakan oleh Presiden maka adalah logis kalau Presiden harus bertanggungjawab kepada MPR dalam arti yang luas. Dan selanjutnya dengan adanya wewenang MPR untuk menetapkan/mengubah UUD mengakibatkan ia mempunyai wewenang untuk menafsirkan UUD. Ialah yang mengetahui apakah suatu keputusan Presiden bertentangan dengan UUD atau tidak. Dan ia pulalah yang paling mengetahui apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD atau tidak. […]

 

Saya termasuk pada orang-orang yang tidak menyetujui pendapat bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk menguji sesuatu undang-undang secara materiil (materiele toetsingsrecht). Sesuai dengan pendapat saya tadi bahwa MPR-lah yang paling mengetahui apakah sesuatu undang-undang konstitusionil atau tidak, maka saya berpendapat MPR-lah yang mempunyai wewenang untuk menguji undang-undang secara materiil. MPR dapat membentuk satu Panitia Penguji Hukum yang ditugaskan untuk tujuan ini. Panitia ini dengan sendirinya memerlukan bantuan dari ahli-ahli hukum. Panitia ini bertanggungjawab sepenuhnya kepada MPR.

 

Janganlah disamakan Supreme Court of Justice Amerika Serikat dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Biarpun sistem pemerintahan kita sama, yaitu sistem presidentiil, Amerika Serikat adalah satu negara federal di mana diadakan pembagian kekuasaan antara pusat dengan negara-negara bagian secara konstitusionil dan pusat tidak mempunyai wewenang untuk mengawasi kekuasaan negara-negara bagian. […]

 

Saya mengambil kesimpulan bahwa pokok-pokok pikiran yang dimaksud Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia Bagian Umum nomor III yang merupakan perwujudan dari pada rechtsidee itu adalah dasar negara, yaitu Pancasila. Dengan hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis senantiasa harus dinilai, sesuaikah ini dengan Pancasila atau tidak. Kalau tidak sesuai, maka hukum itu tidak sesuai dengan keyakinan rakyat dan harus diganti/diubah.

 

Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interpretasi yang tegas mengenai Pancasila ini, karena dengan demikian akan terikatlah Pancasila ini dengan waktu. Biarkan saja tiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai Pancasila ini. Dan interpretasi golongan-golongan ini mungkin pula akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya perbedaan-perbedaan interpretasi ini menunjukkan kemampuan hidup Pancasila ini untuk selama-lamanya sebagai dasar (filsafat) negara. […]

 

Seperti saya katakan tadi, lampiran-lampiran yang merupakan perubahan UUD dapat pula sewaktu-waktu dicabut kembali atau diubah, sama dengan yang berlaku pada Konstitusi Amerika Serikat. Kita mengenal umpamanya Amandemen Nomor 18 yang dicabut dengan Amandemen Nomor 21. […]

 

Kenyataan ini menunjukkan, bagaimanapun juga UUD 1945 adalah sama dengan UUD negara-negara lain. Sesuai dengan keadaan harus mengalami perubahan. Dan ini memang diperkenankan oleh UUD 1945 pada Pasal 37 yang melalui argumentum a contrario dianut pula oleh MPRS seperti tersebut dalam Peraturan Tata Tertib MPRS. Begitupun semua Negara di dunia setahu saya menentukan di dalam UUD cara mengubah UUD-nya. Prosedur mengubah UUD termasuk yang tidak terlalu ringan dan juga tidak teralu sulit.

 

Konstitusi Inggeris (unwritten constitution) dapat diubah dengan satu Parliament Act, sama dengan mengubah satu Parliament Act yang lain. UUD Uni Soeviet menurut Pasal 146 dapat diubah oleh Soviet Tertinggi dengan persetujuan paling sedikit dua pertiga dari seluruh anggota.

 

Di negeri Belanda, perubahan harus ditetapkan lebih dahulu dalam wet segala usul untuk mengubah UUD, dan dengan tegas harus menunjuk perubahan yang diusulkan. […] UUD Italia diubah dengan satu undang-undang yang disetujui oleh Parlemen Italia pada dua rapat berturut-turut. […]  Perubahan UUD dapat diajukan kepada referendum rakyat. Sedangkan di Amerika Serikat, usul perubahan harus disetujui oleh dua pertiga dari seluruh anggota Senate dan House of Refresentatatives dan harus diratifikasikan oleh Dewan-dewan Legislatif/konvensi-konvensi dari tiga perempat Negara-negara Bagian. […]

 

Usul pada UUD negara Jepang dilakukan oleh Diet (Parlemen Jepang) dengan suara paling sedikit dua pertiga dari seluruh anggota masing-masing kamar menyetujui. […] Di UUD Republik Federal Jerman menganut ketentuan perubahan dapat dilakukan dengan satu undang-undang yang disetujui oleh paling sedikit dua pertiga dari seluruh anggota Bundesrat danBundestag.[…]. Sedangkan beberapa negara mengadakan ketentuan dalam UUD mengenai hal-hal yang tidak boleh diubah, seperti kita lihat pada UUD Turki, UUD Perancis, dan UUD Italia, yaitu adanya ketentuan bahwa sekali-kali tidak boleh diubah bentuk negara republik. Begitupun Konstitusi Amerika Serikat. […]

 

Biarpun dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan mengenai adanya larangan untuk mengubah beberapa hal dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945, saya berpendapat mengingat sejarah terbentuknya UUD ini dan adanya konsensus nasional yang dapat kita anggap berlaku sekarang ini, memang ada hal-hal yang tidak boleh diubah: Yang pertama-tama adalah dasar (filsafat) negara yaitu Pancasila. […] Yang kedua adalah tujuan negara. […] Yang ketiga adalah asas negara hukum. […] Yang keempat adalah asas kedaulatan rakyat. […] Yang kelima adalah asas kesatuan. […] Yang keenam adalah asas republik. […]

 

Menurut pendapat saya, kalau salah satu hal yang saya sebut tadi diubah, maka negara ini tidak sesuai lagi dengan negara yang kita inginkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kalau dasar (filsafat) negara dan dan tujuan negara diubah dapat kita malahan mengatakan bahwa negara ini bukan lagi negara yang kita proklamirkan pada 17 Agustus 1945. Dan hal ini berlaku juga terhadap organisasi manapun juga. Tujuan dan dasar satu organisasi merupakan eksistensi organisasi itu. […] Dan menurut pendapat saya, dengan berpegang teguh kepada enam hal yang saya sebut tadi, yaitu hal-hal yang tidak dapat diubah, kita dapat mengadakan perubahan pada tata Negara kita. […]

 

Selanjutnya kalau kita toh ingin menganut sistem presidentiil secara tegas, lebih baik diubah saja cara pemilihan presiden. Tidak dipilih lagi oleh MPR tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian presiden tidak harus bertanggungjawab lagi kepada MPR dalam arti luas. Dan dengan demikian ada jaminan kestabilan pemerintah. Seperti kita mengetahui, sistem pemilihan presiden Amerika Serikat pun sedang direncanakan untuk diubah dari bertingkat ke sistem langsung dipilih oleh rakyat. Dengan demikian akan mengubah konstitusi.

 

Pada peristiwa yang bagi saya sangat besar ini, izinkanlah saya pertama-tama mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dan Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia akan pengangkatan saya sebagai Guru Besar Ilm Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta.

 

Terima kasih saya ucapkan pula kpada Rektor IKIP Yogyakarta yang mengusulkan pengangkatan saya menjadi Guru Besar.

 

Dan kepada Senat IKIP Yogyakarta juga saya ucapkan terima kasih akan keputusannya yang bijaksana menyetujui pengangkatan saya menjadi Guru Besar. Dan pada tempatnya pula saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman saya sekerja pada FKIS yang selama ini memberikan bantuan kepada saya sehingga saya dapat melakukan tugas saya dengan baik sehingga dapat diangkat menjadi Guru Besar. […]

 

Dan selanjutnya terima kasih saya kepada isteri saya yang mendampingi saya selama ini.

 

Terima kasih.”

 

No Responses

Comments are closed.