Prasyarat Moral Gedung Difabel

 LAPORAN UTAMA

Tanpa fasilitas ramah bagi berkebutuhan khusus, para difabel sukar mengembangkan diri secara maksimal. Kriteria khusus itu perlu dipertimbangkan matang dalam pembangunan gedung.

BERDIRI persis di timur gedung Pusat Layanan Akademik (PLA), FBS, UNY, bangunan empat lantai yang semula bangunan lama Jurusan Pendidikan Seni Musik itu kini telah bersalin rupa menjadi Laboratorium Musik dan Tari. Tiga tahun silam, gedung lawas itu berdiri terpisah, satu lantai, dan membentuk kapling-kapling berkapasitas 30 mahasiswa. Konon ia telah bertahan lebih dari empat dekade sejak periode Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) era 70-an.

Semenjak UNY meneken IDB pada 2013, gedung perdana dibangun di Kampus Ungu. Bangunan itu ditujukan kepada mahasiswa Seni Tari dan Musik agar terfasilitasi dengan baik. Semula, tatkala kelas praktik, mereka hanya memaksimalkan Pendopo Tedjokusumo, selatan PLA, secara bergantian. Adanya gedung senilai 16 miliar itu juga bernilai plus bagi mahasiswa berkebutuhan khusus.

Slamet Widodo, Direktur Eksekutif IDB UNY, menilai bahwa gedung baru disesuaikan dengan standar nasional yang ramah bagi mahasiswa difabel. “Semua gedung sudah dilengkapi. Aksesnya juga. Mulai dari toilet, tangga, lift, hingga penunjuk arah. Semua sesuai aturan,” katanya. Itu semua, menurut Slamet, didasarkan atas komitmen UNY terhadap pendidikan inklusif.

Di Indonesia, standar aksesibilitas bangunan gedung, fasilitas, dan lingkungan diatur melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 30 Tahun 2006. Regulasi itu ditentukan guna mewujudkan kedudukan, kesetaraan, kesamaan, hak kewajiban, dan peningkatan peran lansia dan penyandang cacat. “Akses difabel ini proritas,” terang Slamet.

Pusat Studi, Advokasi, dan Pemberdayaan Masyarakat Disabilitas menerangkan empat persyaratan teknis aksesibilitas dan fasilitas pada lingkungan dan gedung. Pertama, gedung harus memiliki jalur sirulasi atau ram—bidang dengan kemiringan tertentu—agar orang berkebutuhan khusus dapat lewat. Kedua, toilet yang dilengkapi sanitasi khusus dan aksesibel bagi difabel.

Ketiga, jalur pemandu bagi tunanetra berupa tekstur ubin peringatan dan pengarah. Kriteria ketiga itu telah diterapkan di pedestrian, termasuk sepanjang Jalan Malioboro, baik sayap kanan maupun kiri. Keempat, area parkir yang luas untuk mobilitas kursi roda. Meskipun demikian, terlepas dari keempat prasyarat tersebut, menurut Slamet Widodo, UNY masih mempunyai tantangan fisik.

“Di gedung yang hanya lantai dua atau tiga, agak sulit menyediakan akses difabel di lantai atas. Lift juga cukup sulit untuk mengakomodasi. Hanya dua tiga tangga saja,” tuturnya. Senada dengan Slamet, Erbi Bunyanudin, alumnus Pendidikan Luar Biasa (PLB) angkatan 2011, mengatakan gedung di UNY—terutama rektorat—belum sepenuhnya mengakomodasi difabel tunarungu. “Papan informasi masih cenderung pada difabel yang mengalami hambatan berjalan dan penglihatan, sedangkan bagi tunarungu kurang aksesibel.”

Bagi mantan Ketua UKM Penelitian UNY tahun 2014 itu gedung baru relatif baik ketimbang gedung lama. Namun, ia memberikan catatan di area seperti food court, trotoar, dan Student Center (SC). “Tempat umum tersebut kurang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).”

Erbi pernah menjumpai mahasiswa difabel yang kesulitan menemukan ruang UKM. “Ternyata, gedung yang dia cari di lantai dua. Selain tak ada tangga khusus, dia kesulitan karena tidak ada papan informasi yang ditulis dengan huruf braille,” ujarnya. Pengalaman itu membekas hingga sekarang. Menurutnya, pembangunan UNY ke depan harus mengindahkan kepentingan difabel, termasuk memperbanyak huruf braille di setiap pintu atau tikungan, lantai beralur, dan peta atau informasi lain bagi tunarungu.

Pentingnya gedung ramah bagi ABK, antara lain, menurut Erbi, adalah ruang pengembangan diri. “Layaknya manusia yang tidak ada hambatan, selain motivasi diri, ketika akses untuk pengembangan diri itu mudah didapat, ia sudah barang tentu akan berproses mengembangan diri secara cepat,” paparnya. Pengaruh eksternal tersebut berpengaruh signifikan terhadap kondisi psikologis mahasiswa difabel.

Akses-akses itu, menurut Erbi, harus diperbanyak dan diremajakan agar memenuhi kriteria fasilitas untuk ABK. Kebutuhan ini sedemikian mendesak di tengah tuntutan perguruan tinggi yang hendak mencapai target universitas kelas dunia. “Sisi moral dalam pembangunan gedung harus diperhatikan,” pungkas Slamet.

No Responses

Comments are closed.