Tepuk tangan boleh jadi menggema seantero Chamber Musik di salah satu sudut kota di Negeri Pizza, ketika enam mahasiswa UNY yang menjadi wakil Indonesia berhasil melantunkan musik klasik dengan dengan alunan yang indah pada Agustus lalu, dan menyabet gelar juara untuk kali keempat berturut-turut.
Tapi tepuk tangan itu, justru kerap tak bergema di lingkungan dan masyarakat Indonesia sendiri. Karena prestasi bahasa dan seni masih dipandang sebelah mata, dan kalah pamor dibanding prestasi di bidang sains dan teknologi.
Dr. Widiastuti Purbani, Dekan Fakultas Bahasa UNY, mengamini hal tersebut. Di tengah seni dan bahasa yang dianggap kurang penting karena pujian selalu mengalir pada kemampuan intelektualitas, ia mengibaratkan hal tersebut layaknya lomba robot maupun mobil listrik yang diikuti UNY. Mereka semua juara dan berprestasi di bidangnya masing-masing, layaknya apa yang dilakukan mereka yang memilih mengabdikan diri di bidang bahasa dan seni.
Namun, tanggapan media dan masyarakat berbeda. Lomba robot dan mobil listrik bisa begitu saja menuai sorotan dan apresiasi. Sedangkan seni dan bahasa, kerap dibiarkan mengabdi dalam diam.
“Bukannya kita haus apresiasi, tapi ini penting untuk catatan kita. Kita itu kerap dianggap tidak keren dan diacuhkan oleh masyarakat. Misalnya, ada anak FBS yang mengkaji etnografi nilai filosofis cerita rakyat di Bejiharjo Gunungkidul dan juara di Pimnas. Tapi tetep dianggap kalah pamor dibanding lomba robot kan?,” ungkap Widiastuti.
Konsekuensi Logis
Minimnya apresiasi atas prestasi di bidang seni dan bahasa tersebut, menimbulkan konsekuensi logis yang apabila dibiarkan dapat menghambat civitas untuk berprestasi. Widiastuti memandang bahwa di satu sisi, mahasiswa akhirnya menganggap bahwa prestasi bukan menjadi prioritas utama. Mereka lebih menganggap fokus akademik dan menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang) seakan sudah cukup.
“Toh dosen juga masih ada sebagian yang tidak aktif mendorong, sehingga klop dengan masyarakat yang masih kurang mengapresiasi pencapaian seni dan sastra. Yang ditekankan biasanya sekedar lulus cepat dan syukur-syukur cumlaude,” ungkap Widiastuti.
Selain itu, minimnya semangat dan apresiasi membuat FBS sebagai institusi harus bekerja lebih ekstra untuk mendorong terciptanya budaya prestasi. Masih jarang menurut Widiastuti, civitas FBS yang secara sukarela dan inisiatif sendiri mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Nasihat beberapa dosen yang mendukung kegiatan prestatif, bahkan dianggap sekadar angin lalu saja karena dipandang sebagai upaya pencitraan semata.
“Kalau dosen seperti kita yang ngomong, yang punya kepentingan dan punya institusi, dianggap itu ya sekedar untuk kepentingan kita. Nasihat dan dorongan kita untuk budaya prestatif belum dipandang anak-anak sebagai dorongan yang tulus demi kebaikan sendiri,” ungkap Widiastuti.
Untuk menyikapi hal tersebut, FBS senantiasa menekankan pembinaan yang berjenjang pada prestasi mahasiswa agar prestasi berlangsung secara kontinu. Merujuk pada kelompok musik UNY yang sudah empat tahun berturut menjuarai Concorso Musicale Europeo yang dihelat di Italia misalnya, senior-senior yang telah meraih prestasi pada umumnya menginspirasi dan memacu adik tingkatnya untuk meneruskan prestasinya. Selain itu, mereka juga menjalin hubungan berbasis peer-learning sehingga ilmu yang dimiliki para senior biasanya ditularkan pada mereka yang lebih muda.
Mengundang tokoh-tokoh inspiratif maupun yang kompeten dibidangnya, juga senantiasa dilakukan UNY guna mendorong prestasi. Di bidang PKM misal, FBS UNY beberapa kali mendatangkan juri nasional dari lintas bidang untuk memberikan insight serta penekanan atas pentingnya budaya prestasi.
“Dengan demikian, mereka tahu bahwa prestasi seni dan bahasa juga ditunggu-tunggu dan yang menasihati lagi-lagi bukan kita saja. Tapi juga orang-orang yang sebenarnya walau terkesan dalam diam, tetap menunggu karya nyata kita,” pungkas Widiastuti.
No Responses