Tangan dan sekujur tubuhnya tremor ketika harus menengadah ke arah sasaran. Panah yang digenggamnya, tak kunjung dilesatkan. Pekikan “Indonesia” yang menggema ditengah tegangnya Semi Final ajang Sea Games itu, juga seakan tak terdengar sama sekali di kepala Prima. Suara rintihan Nurhayani-lah, yang justru terngiang di kepalanya. Padahal jarak Rumah Sakit Panti Rapih tempat sang ibunda berjuang melawan penyakit tulang, sangat jauh dari Kuala Lumpur.
Sorakan sang pelatih dari pinggir kemudian memecah imaji itu. Prima teringat bahwa ia harus menatap kedepan. Mewujudkan doa-doa yang dihantarkan dari tepi lapangan, di rumah, dan di penjuru negeri, untuk kemenangannya. Sehingga ketika ia berhasil membalikkan keadaan di semi final walau sempat tertinggal tiga poin lebih dulu, hingga menaklukkan Malaysia dalam pertarungan final hanya dengan unggul satu poin, Prima membayar tuntas doa-doa tersebut ketika pulang ke rumahnya di Pakualaman.
Medali Emas Sea Games 2017, yang digondolnya tepat sehari sebelum peringatan kemerdekaan negeri yang ke-72, tanpa ragu dikalungkan pada sang ibu. Menjadi bukti kasih cintanya kepada Ibu, juga pada Panahan, dan Bangsa. Karena ia yakin, ketika satu busur lawan yang terakhir dilesatkan dan memperoleh angka 9, sedangkan busurnya meraih angka sempurna di kesempatan terakhir, semesta sedang berkonspirasi bersama doa ibunya dan restu Tuhan.
Ketika Bola berubah Jadi Busur
Punggawa panahan NKRI kelahiran 13 Oktober 1995 ini, semasa kecil lebih akrab dengan bola plastik dibanding busur. Lapangan depan sekolahnya di SD Puro Pakualaman hingga tepi Kali Code, menjadi tempatnya mencetak pundi-pundi gol pada gawang yang dibatasi dengan dua batu kali tanpa jaring. Pemainnya pun tak selalu kesebelasan, tapi bergantung siapa yang diizinkan orang tuanya keluar rumah pada tiap sore.
“Namanya juga main di kampung, ya kita anak kecil-kecil asyik asyikan saja mas,” kenang Prima.
Barulah ketika ia beranjak sekitar kelas dua atau tiga, SD Puro Pakualaman kedatangan busur baru dari sebuah sponsor. Totalnya 10 buah, dan peralatannya masih dari kayu sederhana. Sejak itulah, ekstra kulikuler panahan digelar di SD-nya. Dan seluruh siswa, sempat diminta mencoba keahlian masing-masingnya untuk memanah ketika pelajaran olahraga tiba.
“Jadilah saya akhirnya coba memanah, iseng aja ga niat. Malah kadang juga kita pakai mainan (panah) sama teman-teman. Wee wee tak busur lho! Larilah kita kalau sudah ada yang mengarahkan busur, padahal juga busur kayu kecil nggak sakit,” kenangnya sembari tertawa.
Tapi dari keisengan itu, bakat memanah Prima justru terus diasah. Ia akhirnya secara sukarela tertarik untuk mengikuti ekskul panahan. Putu Aryasa dan Nurhayani, ayah serta ibunya, pun mengizinkan putranya ikut latihan panahan. Ketika menjelang perlombaan, latihan panahan bisa berlangsung cukup intens: setiap hari selepas ashar, hingga adzan maghrib memanggilnya.
“Lah tapi daripada nganggur dan dolan terus kan. SD itu dulu pulang jam 10, jam 11. SMP dan SMA saja, paling siang pulang jam 14,” ungkap Prima.
Hingga akhirnya, latihan itu dibuktikan hasilnya dalam kompetisi tingkat regional di Blora. Baru pertama kali ikut lomba, dan tanpa dampingan orang tuanya yang memang tak diizinkan Prima ikut serta harus berdagang di Food Court Kraton Pakualaman, ia justru langsung menggondol dua medali sekaligus di bidang yang berbeda. Sejak itulah panahan menjadi jiwa Prima. Dan menghantarkan hari-hari Prima pada latihan demi latihan, serta kompetisi demi kompetisi.
“Bagi saya memang kalau tanding ga usah ditungguin, sama pelatih aja. Lebih los gitu. Disitulah kompetisi pertama saya akhirnya melecut untuk ikut panahan lagi dan lagi,” kenang Prima.
Mati Satu, Tumbuh Seribu Kesempatan
2014 kemudian menjadi awal Prima mulai menjadi seorang atlet panahan yang dipandang. Pada Kejurnas Panahan 2014 yang diselenggarakan di Bandar Lampung, ia menggondol medali emas. Serta menerima langsung medali tersebut dari Titiek Soeharto, Putri Presiden RI ke-2 tersebut yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Panahan Indonesia (PERPANI).
Tapi, berkah yang didapatnya tak hanya berhenti disitu. Ada pencari bakat yang ternyata diam-diam menyaksikan seluruh pertandingan di Kejurnas tersebut. Dan Prima, yang juga baru diterima sebagai mahasiswa semester 1 Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi UNY lewat jalur SNMPTN Rapor itu, kemudian ditarik untuk mengikuti Training Center di Century Jakarta Pusat. Digodok dalam kawah candradimukanya para pemanah terhebat bangsa, untuk kemudian memperebutkan posisi delegasi Sea Games 2015 di Singapura.
“Disitu saya merasa, ini kesempatan saya untuk membuktikan. Serta kesempatan besar untuk pertama kalinya menyematkan nama sebagai delegasi Indonesia di punggung dan juga dada,” kenang Prima.
Tapi sayang, kesempatan itu terlepas begitu saja dari tangan Prima. Dalam training center, Prima ternyata menghuni posisi buncit dibanding para pesaingnya. Ia harus menerima nasib tercoret dari delegasi. Hatinya terpukul, tapi ketika ia mengungapkan perasannya pada para senior di training center, mereka justru tertawa kecil. Bukan karena meremehkan Prima. Tapi menganggap bahwa tak lolos dalam training center, apalagi bagi seorang pemula, adalah hal yang sudah biasa.
“Bahkan saya diceritain, ada yang udah dipanggil training center beberapa kali tapi tetap gagal terus ikut Sea Games. Saya yang baru sekali gagal, dianggapnya gak perlu lah putus asa. Jadi intinya saya diminta jangan lihat ke atas terus, karena pasti merasa kurang terus. Menunduklah, dan berlatih lebih keras!,” ungkap Prima.
Disitulah tekat Prima kemudian membulat. Kali itu, ia boleh gagal. Tapi 2017, dirinya tak boleh kandas lagi. Ia yang hidup dikelilingi ekosistem olahraga yang baik di UNY, kemudian dapat memaksimalkan bakatnya. Kadang ia berlatih dalam kegiatan pembelajaran, kadang juga menyempatkan diri untuk mengasah bakatnya ditengah-tengah kesibukan.
“Saya latihan bersama Pelatih Babe sampai maghrib, sama seperti dulu. Pagi hari juga saya sempatkan berlatih sebelum kuliah. Pokoknya setiap hari, setiap ada waktu luang. Ikut beberapa kompetisi juga di sela-sela kesibukan,” tuturnya yang hingga kini telah mengumpulkan puluhan medali dari banyak kompetisi panahan.
Dengan tekad itulah, ia kemudian lolos menjadi bagian dari kontingen Indonesia untuk ajang Sea Games 2017 di Malaysia. Surat panggilan atas keikutsertaannya tersebut datang di bulan Maret 2017, dari PB Perpani. Ia diturunkan di Kelas Compound 50 meter individu putra, tanpa ditargetkan meraih medali emas.
Tanpa target medali, bukan berarti Prima lantas bersantai. Dalam training center, ia berlatih enam hari seminggu dengan penuh kerja keras. Dari pukul delapan pagi, hingga jam lima sore dengan istirahat ishoma di tengah-tengahnya.
“Pelatnasnya itu di Cibubur. Tapi kurang sebulan sebelum SEA Games, latihan pindah ke Surabaya. Untuk mengasah kemampuan dan adaptasi angin, karena angin di Surabaya lebih kencang daripada di Cibubur dan diharap bisa mengasah accuracy kita,” terang Prima.
Medali Emas untuk Indonesia dan Ibunda
Selepas pelatnas berakhir, Prima menyempatkan diri pulang ke rumahnya di Pakualaman. Sang pelatih memang memberikannya waktu libur satu minggu selepas berkompetisi di Shanghai. Waktu tersebut, rencananya digunakan Prima untuk sungkem kepada orang tua dan sanak saudaranya, sembari memohon doa restu untuk ajang Sea Games.
Tapi sesampainya di rumah, ia justru mendapati sang ibunda tergeletak lesu di kamarnya. Prima memang sudah tahu bahwa sang ibunya sedang sakit, tapi tak tahu bahwa sakit sang ibu ternyata semakin parah dari hari ke hari. Prima kemudian membujuk sang ibunda untuk menuju ke dokter, dan syukurlah sang ibunda kebetulan bersedia.
“Jadi dari Shanghai itu aku dapat tiket ke Jogja hari Selasa, sampai rumah lihat. Waduh mama kok tambah gini, tambah parah. Beberapa hari kemudian paginya, tak panggilkan ambulans. Dibawa ke Puskesmas Lempuyangan, lalu akhirnya langsung dirujuk ke RS Panti Rapih,” ungkap Prima.
Barulah di Panti Rapih, Prima sekeluarga mengetahui bahwa Nurhayani mengidap penyakit tulang kaki. Prima sebenarnya ingin menunggu proses pengobatan sang ibunda, tapi sang ayah melarangnya. Ia meminta Prima berfokus pada tugas negara yang segera diembannya, seraya mengingatkan bahwa ia harus ke Jakarta pada pukul enam sore harinya.
“Akhirnya ya saya izin bapak, untuk pulang dan bersiap-siap ke Jakarta. Jam empat sore admin selesai saya pulang mandi makan dulu, jam enam terbang. Buru-buru banget itu,” kenang Prima.
Tak berselang lama, Prima kemudian sampai di Jakarta dan terbang ke Malaysia. Sempat Prima menelpon sang ayah untuk menanyakan bagaimana kondisi dan perkembangan sang ibunda. Tapi, Putu berbohong bahwa kondisi sang ibunda telah membaik. Ketika Prima meminta untuk berbicara langsung dengan sang ibu, Putu menolak. Memintanya fokus berjuang, seraya mencabut sim card di telepon genggamnya.
“Saya berbohong ketika Prima tanya kondisi mamanya, sebenarnya saat itu kondisinya belum membaik. Biar Prima fokus berjuang, mamanya ada saya dan keluarga yang menjaga. Sim card-nya saya cabut juga agar mamanya tidak kepikiran soal Prima di SEA Games,” ungkap Putu.
Beberapa hari kemudian, Nurhayati dinyatakan telah pulih dan diizinkan rawat jalan. Di rumahlah ia sekeluarga kemudian menyaksikan Prima meraih medali emas dalam ajang panahan.
“Uti (nenek Prima) tiba-tiba teriak memanggil saya. Uti mengatakan kalau di televisi ada Prima, saya lihat ternyata juara dapat emas. Saya, istri dan Uti sampai menangis,” kenang Putu.
Beberapa hari kemudian, suasana haru dan bangga kemudian pecah di rumah itu. Prima yang pulang ke rumah, secara spontan langsung duduk bersila dan mencium kedua pipi sang ibunda yang masih menggunakan kursi roda selepas bangun dari tempat tidurnya. Prima lantas memeluk sang ibu dan mengalungkan medali emas raihannya di Malaysia yang sebelumnya diambil dari koper kontingen.
Sang ibu, yang mendapati medali tersebut dikalungkan di lehernya, mencoba menggerakkan tangannya ke dada Prima. Seraya satu dua kali menepuknya dengan haru, tanpa bisa berkata apa-apa.
“Saat pulang kemarin itu Prima mengalungkan medali Emas yang di peroleh nya ke ibunya, sampai sekarang saya masih berkaca-kaca kalau bercerita tentang ini,” kata Putu.
Kedepan, Prima menyatakan diri akan terus berlatih dan memenuhi kewajibannya sebagai mahasiswa untuk menuntaskan skripsi dan KKN. Selain itu, emas Asian Games 2018 yang kelak akan diselenggarakan di Indonesia menjadi target selanjutnya. Dan kepada muda-mudi di UNY serta penjuru negeri, Prima berpesan apa yang senantiasa ia dapatkan dari sang pelatih.
“Jadi kalau kita dicemooh, dicibir, cuekin aja. Itu pesan yang selalu diberikan ke saya, dan kali ini saya pesankan buat ke semua orang. Daripada waktu dan pikiran dipakai untuk baper dan mikirin orang lain, mending waktunya dipakai untuk belajar dan berprestasi!,” tegas Prima.
No Responses