Wawancara Khusus – Prof. Muhadjir Effendy
Pentingnya Keterbukaan Informasi bagi Pendidikan Abad ke-21
Di tengah era disrupsi digital, bukan hanya dunia pekerjaan dan tantangan bangsa yang berubah. Cara kita berkomunikasi, juga makin kompleks. Sehingga guru dan seluruh insan, serta institusi pendidikan, diharapkan oleh sang menteri, bersama-sama mampu menguasai kelihaian menyampaikan gagasan berbasis transparansi dan keterbukaan informasi sebagai kemampuan penting memajukan negeri pada abad ke-21.
Kepada Redaktur Pewara Dinamika, Ilham Dary Athallah, Prof. Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia, kemudian berkisah di sela-sela Seminar Profesionalisme Guru Abad ke-21, yang digelar pada Sabtu (28/4) di Ruang Sidang Utama (RSU) Universitas Negeri Yogyakarta, seputar bagaimana Kementerian yang dinakhodainya bersama dengan seluruh guru dan masyarakat menyongsong abad ke-21 dengan kemampuan-kemampuan penting yang harus dikuasai. Sekaligus bagaimana kita sebagai bangsa tidak terlena atas bayangan masa depan, dengan tetap belajar dari sejarah dan menghadapi dengan kesungguhan hati masalah konkrit yang ada di hadapan kita saat ini.
Apa sebenarnya masalah terbesar yang dihadapi dunia pendidikan untuk menyongsong abad ke-21?
Kalau ditanya apa masalah terbesar, pendidikan kita itu sebenarnya memang penuh masalah. Bisa ngomong seharian saya kalau bicara tentang masalah ini. Tapi yang paling penting dan ingin saya katakan adalah pemerintah sedang betul-betul kerja keras untuk membangun Indonesia ini. Kita dalam kabinet kerja, dan semua institusi pendidikan sebagai bagian dari kerja negara untuk mewujudkan pendidikan sesuai dengan tujuan nasional dan visi misi Presiden, itu selalu bekerja keras.
Permasalahan pendidikan tentu juga tidak bisa dilepaskan dari variabel lainnya. Tingkat kepercayaan publik kita misalnya, Gallup World Poll bahkan menyebut kita yang tertinggi di dunia, sebesar 80. Juga pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan upaya pemerintah untuk senantiasa menunaikan Nawacita. Itulah alasan Program Indonesia Pintar, Revitalisasi Pendidikan Kejuruan dan Keterampilan, Gerakan Literasi Nasional, Penguatan Pendidikan Karakter, Neraca Pendidikan Daerah, dan Peningkatan Kapasitas Guru, terus kita lakukan.
Dan di sini poin pentingnya, guru, yang menurut undang-undang mempunyai tempat mulia sebagai pekerjaan profesional, harus dikembangkan. Anggota profesi di dunia, yang jumlahnya terbesar, menurut saya adalah guru Indonesia. Menurut saya, mengurusi pendidikan itu mengurusi guru.
Karena gurulah dengan segala kehormatannya, disumpah untuk mengabdi kepada ilmu, dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk dunia keilmuan dan pekerjaannya. Guru di sini adalah kunci mengurai masalah pendidikan. Kalau ngurusi duit terus, kebijakan anggaran dan lain-lain, kapan mengurus pendidikannya?
Lalu bagaimana keterbukaan informasi berperan untuk meningkatkan kualitas pendidikan?
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 16 Tahun 2017 telah memiliki landasan bagaimana melayani Informasi Publik di Lingkungan Kementerian dan Kebudayaan. Penyediaan, penyimpanan, pendokumentasian, pelayanan, hingga pengamanan informasi publik, telah ditata dan dikembangkan sedemikian rupa. Namun ide keterbukaan informasi bukan sekadar untuk itu. Bagi guru, kemampuan keterbukaan informasi adalah kemampuan profesionalitas.
Samuel Hattington menyebut ada tiga syarat pekerjaan profesional: keahlian, tanggung jawab sosial, dan kesejawatan (corporateness). Keahlian guru terletak pada kemampuan pengajarannya. Untuk bisa melakukan pekerjaan tersebut, membutuhkan pendidikan yang relatif lama dengan tingkat kesulitan yang relatif cukup tinggi. Sebagai ukuran, mereka yang tidak menempuh hal tersebut akan mengalami kesulitan dan pasti tidak bisa melakukan pekerjaan seperti itu. Sehingga, ya hanya orang tertentu saja yang bisa menjadi guru. Dan mereka kemudian bergabung dalam kesejawatan, ikatan dan korps-korps guru.
Keahlian menjadi guru mumpuni, kemudian menjadi penting untuk mewujudkan profesionalitas lewat tanggung jawab sosial yang ia miliki. Ia mengajar, untuk orang yang diajar, dan mencintai pekerjaannya. Dampak mengajar dan cahaya keilmuan, sebagai penyediaan public goods, ia persembahkan untuk masyarakat umum. Dan siapapun yang bekerja untuk masyarakat umum, dia punya tanggung jawab sosial. Tanpa tanggung jawab sosial, misalnya, seorang guru alih-alih mengajar kebajikan justru mengajar kemungkaran. Itu bahaya dan daya rusaknya luar biasa.
Guru, paling mahir mengajar, tapi juga paling jago menyesatkan kalau dia tidak punya tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, kemampuan abad ke-21, termasuk merangkul masyarakat dan menekankan keterbukaan informasi, menjadi sangat penting. Agar guru senantiasa mencerdaskan semuanya.
Bagaimana kemudian membangun tanggung jawab sosial dalam agensi dan institusi pendidikan terkait?
Ya kembali ke tiga syarat profesional tersebut. Termasuk utamanya, jaminan dan panduan bagaimana sebagai profesional menjalankan profesinya tersebut. Itulah mengapa, saya ingin sekali dengan UNY, tadi telah saya sampaikan (dalam Keynote Speech Seminar Profesionalisme Guru Abad ke-21), untuk dibantu pembuatan kode etik guru secara nasional, yang nanti kita juga buat mulai dari seminar hingga naskah akademik dan kajiannya. Guru dalam tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa, harus punya panduan dan jaminan bahwa dalam tugasnya tersebut ia memiliki rasa aman maupun kesejahteraan yang mumpuni.
Khusus yang bagian kesejahteraan, kami di Kemdikbud berkomitmen agar setiap tahunnya bisa merekrut 100.000 guru baru sebagai Pegawai Negeri Sipil tiap tahunnya. Itupun nanti angka riil di lapangan hanya sekitar 60.000 guru baru per tahun, karena setiap tahun kita menghadapi gelombang pensiun guru yang luar biasa besar. Dan tantangan di daerah luar biasa, misalnya penolakan pelantikan guru SM3T oleh daerah, karena daerah punya preferensi tertentu dalam merekrut guru. Maupun beban keuangan daerah yang selama ini sudah habis tersedot untuk beban pegawai, di tengah adanya 740.000 guru honorer di sekolah negeri yang memiliki aspirasi untuk kita angkat sebagai PNS.
Untuk itulah yang paling penting, kita berupaya untuk mengurai masalah tersebut satu per satu, sehingga keberlanjutan menjadi penting. Kita ingin perubahan sistemik. Dan menteri boleh diganti, tapi kebijakan dan pemerintahan ini, harus berlanjut. Saya bisa pesan kok kalau pemerintahnya tetap, ke menteri pendidikan selanjutnya, agar perubahan struktural di bidang pendidikan dilanjutkan. Tapi kalau ganti pemerintah, ganti semuanya, kan sulit.
Lalu untuk kode etik guru nasional, bagaimana aplikasinya?
Intinya saya secara pribadi sebenarnya kecewa, guru kita dalam tugasnya mengajar begitu mudah dikriminalisasi dan dipolisikan. Guru tempeleng murid, misalnya. Walaupun itu tindakan yang relatif tidak dapat diterima oleh beberapa pihak, guru melakukan hal tersebut dalam kapasitas pekerjaan yang sedang ia lakoni. Ada tanggung jawab sosial dan basis keahlian yang sedang ia tunaikan ketika melakukan tempeleng tersebut.
Kode etik itu tentu bukan berarti kekebalan. Misalnya kalau guru di pasar, nempeleng orang, itu pidana. Ciri pekerjaan profesional itu membutuhkan aplikasi kode etik. Tapi yang menentukan kode etik, sekaligus hakim dan penentunya, adalah kesejawatan dan pelaku itu sendiri sebagai seorang guru. Misal, (kasus) dokter itu. Dokter Terawan dipandang malpraktik kan ikatan dokter sendiri yang memutuskan demikian. Untuk itu, kesejawatan menjadi penting untuk ditingkatkan dan kami di Kemdikbud berkomitmen untuk tahun depan meningkatkan anggaran asosiasi sekaligus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas organisasi layaknya Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) maupun Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Itulah kenapa kode etik guru sangat penting. Selama ini, sudah ada kode etik guru tapi sifatnya masih sporadis dan belum menjadi basis asosiasi profesinya. Dengan adanya kode etik ini, profesional guru akan terimbas implikasi. Menekankan profesionalitas bagi semua guru tanpa terkecuali, serta jaminan sekaligus tuntunan bagaimana menjalankan keprofesian berbasis asas-asas tertentu.
Apa harapan Kemdikbud atas perwujudan profesionalitas lewat mekanisme-mekanisme tersebut?
Ya kembali lagi dalam kaitannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. Hal ini juga kita lakukan untuk menyikapi kecenderungan global dan kondisi yang dihadapi generasi milenial abad ke-21. Berlangsungnya revolusi industri keempat misalnya, menyajikan kita fenomena di mana kemajuan teknologi informasi tidak hanya mengubah dunia pekerjaan maupun tantangan bangsa kita dalam menyongsong kompetensi TIK maupun globalisasi dan daya saing manusia. Tapi juga cara kita berkomunikasi bahkan berpikir, karena generasi selanjutnya ini bersifat digital natives—aktif sebagai pengguna sosial media yang jika dimaanfaatkan akan mampu menjadi pembelajar cepat dan cerdas.
Selain itu, semakin tegasnya fenomena abad ini sebagai abad kreatif, juga menempatkan informasi, pengetahuan, kreativitas, inovasi, hingga jejaring sebagai sumber daya strategis bagi individu, masyarakat, korporasi, dan negara. Untuk itu, pembangunan kualitas karakter, literasi dasar, dan kompetensi, penting untuk siswa abad ke-21.
Namun, jangan sampai imaji dan bayangan kita atas masa depan melupakan masalah yang ada saat ini maupun membuat kita menjadi ahistoris. Membandingkan pendidikan kita dengan Finlandia dan Singapura, misalnya, padahal itu tidak proporsional dan apple to apple. Bandingkan saja misalnya PISA, khusus daerah Yogyakarta dengan daerah lain. Saya yakin kualitas kota pelajar dengan lingkup lebih spesifik ini peringkatnya pasti lebih baik.
Sehingga kalau saya ditanya pribadi, saya dan kita semua fokus saja menghadapi dengan kesungguhan hati masalah konkret yang ada di hadapan kita saat ini. Pemerataan dan kualitas pendidikan menjadi kunci. Fenomena masalah pendidikan abad ke-21 memang kompleks dan perlu kita sikapi, tapi masalah yang di depan kita saat ini juga perlu kerja keras kita semua. Keterbukaan informasi dan cara kita berkomunikasi, berperan penting untuk merangkul semua pihak; bahwa urusan pendidikan adalah urusan kita semua.
Profil:
Tempat Tanggal Lahir: Madiun, 29 Juli 1956
Latar Belakang Pendidikan:
S1 Pendidikan Sosial IKIP Malang, 1982
S2 Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, 1996
S3 Sosiologi Militer Universitas Airlangga, 2008
Jabatan:
Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Malang
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang(2000-2016)
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2015-2020)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2016-sekarang)
Related Posts
Guru Itu Tugas Mulia, Penyalur dan Investasi Peradaban
Tilik Rancangan Dasar Hukum PTNBH UNY
Ir. Drajat Ruswandono, MT. (Sekretaris Daerah Gunungkidul) Pemkab Gunungkidul Dukung Penuh Kampus UNY!
Prof. Dr. Lantip Diat Prasojo, M.Pd. – Majukan UNY dengan Kecepatan Cahaya
GKR Hemas – Anugerah yang Sangat Layak
No Responses