Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat, adalah tugas segenap civitas universitas. Radikalisme dan terorisme, tak mendidik dan justru mempersulit kehidupan masyarakat. Keduanya tak sejalan dengan tugas universitas. UNY juga memastikan para dosen dan mahasiswanya tak terlibat.
Kampus seharusnya menjadi gerbang utama untuk menangkal intoleransi dan radikalisme yang tak sesuai dengan ideologi Pancasila. Kala mengungkapkan hal tersebut dalam Festival Pancasila di UNY pada Rabu (06/06/2018), Rektor Universitas Sanata Dharma Johannes Eka Priyatma Ph.D mengingatkan segenap khalayak tentang bagaimana kaum terdidik bangsa ini dulunya menjadi inisiator berdirinya Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Soekarno misalnya, merupakan salah satu jebolan terbaik Technische Hogeschool yang kini telah berubah nama menjadi Institut Teknologi Bandung. Salah satu tempat diskusi ideologi kebangsaan yang termasyhur di pelabuhan besar timur jawa, Surabaya, juga berada di bilik kos kecil di Gang Kampung Peneleh. Namun bilik kos tersebut terasa besar, karena sang empu, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, adalah orang terdidik dengan tiga murid yang tak kalah terdidik pula: Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo.
Itulah kenapa, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Prof. Mohamad Nasir senantiasa menegaskan bahwa ada sanksi tegas bagi tiap civitas akademika universitas yang terlibat penyebaran intoleransi dan paham radikal. Menanggapi rentetan teror yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur dan Pekanbaru, Kepulauan Riau pada bulan Mei, ungkapannya tegas: mahasiswa akan dijatuhi sanksi, dan dosen dapat dipastikan dipecat jika terbukti merongrong ideologi dan falsafah hidup bangsa tersebut.
Karena ia tak hanya menciderai perjuangan besar para pendiri bangsa maupun masyarakat luas yang telah bersusah payah menjaga marwah kemerdekaan negeri ini. Tapi juga tak sejalan dengan nilai tridharma, yang memiliki penekanan untuk menghadirkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
“PTN sejalan dengan kebijakan pemerintah, dan UNY sebagai perguruan tinggi negeri senantiasa berkomitmen untuk terus menyuarakan Pancasila. Tugas civitas akademika, terlebih lagi beban kerja dosen, sudah banyak: mengajar, meneliti, dan pengabdian. Fokus pada kewajiban dan kiprah sesuai dengan bidang kita, jangan ada waktu terbuang untuk hal yang tak bermanfaat apalagi menyulitkan kehidupan masyarakat,” ungkap Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, di sela-sela Festival Pancasila UNY.
Fokus Pencegahan dan Penyadaran
Menurut Nasir, indikasi dosen yang menyebar intoleransi dan radikalisme antara lain mengajak siapa saja untuk tidak patuh pada konstitusi bahkan tidak mengakui NKRI. “Kalau ada dosen (yang menyebar intoleransi dan radikalisme), kami minta dia memilih, apakah bergabung pada NKRI dengan ideologi Pancasila atau keluar dari PNS (pegawai negeri sipil),” tegasnya.
Dalam ceramah umum “Meneguhkan Peran Serta Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama dalam Menangkal Radikalisme dan Terorisme untuk Memperkokoh NKRI” di Kampus Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (28/4/2018), Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan juga mengonfirmasi tumbuhnya radikalisme di kampus. Hasil survei BIN pada 2017, 39 persen mahasiswa telah terpapar paham-paham radikal. Riset BIN pada 2017 juga menunjukkan kekhawatiran lain, yakni 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. (Kompas, 30/4/2018).
“Rektor harus tahu, kalau ada dosen atau mahasiswa yang tiba-tiba hilang, atau tidak ada komunikasi, ini yang kemudian bisa jadi embrio radikalisme,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius dalam Deklarasi Semangat Bela Negara di UNNES.
Kemunculan benih radikalisme dan intoleransi di kampus, lanjutnya, telah dimulai sejak 1983, ketika penerapan kebijakan normalisasi kampus. Ketika kegiatan mahasiswa tidak dibolehkan saat itu, kelompok radikal mulai masuk ke kampus. Dia mengakui, ada kampus yang terlibat pergerakan radikalisme namun jumlahnya sangat kecil. Namun, instruksi Kemristekdikti tetap tegas: meminta rektor untuk menonaktifkan jabatan dosen yang terlibat intoleransi dan radikalisme. Nasir juga mengatakan, perguruan tinggi diinstruksikan mempunyai kurikulum bela negara dan wawasan kebangsaan guna mencegah paham radikalisme. Radikalisme harus dibasmi dari lingkungan kampus untuk menjaga masa depan generasi bangsa. Kurikulum tersebut mencakup empat hal, yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Prof Sutrisna Wibawa telah meneguhkan komitmen UNY untuk melaksanakan instruksi tersebut kala turut serta dalam Deklarasi Semangat Bela Negara dari Semarang untuk Indonesia di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Jawa Tengah, Sabtu (6/5) bersama Menristekdikti dan Rektor PTN dari penjuru negeri. Deklarasi tersebut ditandatangani rektor dan perwakilan mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta se-Jateng. Isinya terdiri atas lima poin. Pertama, menjunjung tinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, menjaga semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga, anti-radikalisme/terorisme. Keempat, anti-narkoba/obat terlarang. Kelima, cinta Tanah Air dan bela negara.
“Bagi kami, UNY senantiasa memastikan bahwa tidak ada dosen dan mahasiswanya yang terlibat. Kita lebih berfokus menyadarkan lewat implementasi Pendidikan Pancasila, sehingga mereka bisa berpikir bahwa yang cocok untuk Indonesia ya Pancasila. Untuk dosen, kita lebih banyak fokus meningkatkan kinerja pada produktifitas tridharma,” ungkap Sutrisna.
Penguatan Karakter Dosen dan Mahasiswa
Menurut Suhardi, kelompok radikal di lingkungan kampus dapat diidentifikasi. Mereka biasanya terdiri atas segelintir orang yang kerap menggelar pertemuan tertutup dan jarang berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Rektor harus mampu mendeteksi tanda-tanda penyebaran radikalisme itu sejak dini dengan penguatan antarelemen kampus.
Saat ini, kata Suhardi, resonansi kebangsaan pada kaum muda mulai tergerus. Sebagian besar mereka tidak mengetahui lagu-lagu dan pahlawan daerah. Padahal, pada era globalisasi, kaum muda seharusnya tidak melupakan budaya lokal, adat istiadat, dan etika bernegara. Sebab, merekalah yang kelak memimpin Ibu Pertiwi pada 10-20 tahun mendatang.
Rektor Unnes Fathur Rokhman, juga berharap komitmen perguruan tinggi se-Jateng menolak paham radikalisme mulai dari lingkungan kampus dapat menginspirasi banyak pihak. Deklarasi itu adalah inovasi dari kalangan akademisi untuk ikut bersama menjaga NKRI. Seluruh elemen kampus seyogianya memberi contoh toleransi antaragama, suku, ras, dan budaya.
Terkait dengan pengaruh dari luar kampus, selalu ditekankan dosen dan mahasiswa punya kemampuan untuk memfilter ajaran yang bertentangan dengan paham kebangsaan. Guna mengembangkan kemampuan tersebut, implementasi beban kerja dosen sesuai kewajiban tridharma disebut Rektor UNY Prof Sutrisna Wibawa menjadi kunci. Pengembangan Pusat Studi Konstutisi dan Pancasila serta kegiatan-kegiatan penelitian untuk implementasi, diungkapkan Sutrisna juga mengemban ekspektasi agar dosen dapat mendalami sekaligus mengembangkan kemampuan dan kontemplasi atas filosofi Pancasila lebih jauh.
“Ada 25 penelitian tentang model pembelajaran Pancasila untuk tahun ini. Harapannya, pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan, lebih inovatif dan merasuk dalam kaakter. Sehingga UNY tak hanya berkontribusi menguatkan karakter para dosen dan mahasiswa, tapi juga keseluruhan anak-anak bangsa, lewat ketersediaan terobosan media pembelajaran alternatif,” ungkap Sutrisna.
Sejalan dengan hal tersebut, Rochmat Wahab sebagai Rektor Senior UNY menggarisbawahi bahwa menjadi penting agar universitas tak begitu saja memangkas dosen yang terafiliasi dengan organisasi yang bertentangan dengan Pancasila layaknya HTI. Efektifitas dari kebijakan reaktif tersebut, menurut Rochmat justru minim karena ia tak akan menghapus paham radikalisme dari sosok tersebut. Upaya deradikalisasi menurutnya akan berlangsung lebih mujarab, jika upaya edukatif dan memberikan pemahaman Pancasila yang baik dan persuasif kepada oknum tersebut.
“Termasuk guna menjaga rasa keadilan, maka jangan sampai keputusan kita menjadi politis. Harus moderat dan hati-hati, karena jika semena-mena (langsung pecat), sosok tersebut justru makin tidak suka dengan Pancasila dan merasa apa yang ia percayai (ideologi radikal) adalah sebuah perjuangan).
Kepala Pusat Studi Konstitusi dan Pancasila Dr. Samsuri, juga mengungkapkan agar jangan sampai universitas membatasi civitas untuk berpikir kritis maupun berkontemplasi hanya karena adanya indikasi radikalisme pada segelintir oknum. Iklim UNY, dan iklim dunia universitas pada umumnya, dalam pandangan Samsuri bersifat plural dan sangat baik untuk mengembangkan pemikiran kritis. Yang perlu dilakukan segenap civitas, adalah menyadari bahwa kebebasan mimbar akademik tersebut dilakukan dengan bertanggung jawab.
“Jangan diarahkan atau diperintah, apalagi bertindak sesuatu sedikit yang berbeda dengan pandangan kita, di judge sebagai radikal. Yang penting ruang dialog selalu dibuka. Dengan pemikiran kritis dan konstruktif, mahasiswa dan seluruh civitas nanti akan dewasa dengan sendirinya, sadar bahwa Pancasila yang paling cocok bagi Indonesia,”
No Responses