Wawancara Khusus
Rosarita Niken Widiastuti – Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik
Awak Kampus Jangan Golput dan Sebar Hoax!
———–
Latar Belakang Pendidikan
S1 Sosiatri FISIPOL UGM, 1984
S2 Sosiologi Komunikasi Sosial FISIPOL UGM, 2004
Jabatan:
Direktur Utama LPP Radio Republik Indonesia (2010-2015)
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo (2016-sekarang)
———-
LEAD: Merefleksikan tahun 2019 yang akan sarat urusan politik, Rosarita berpesan kampus beserta segenap awak harus aktif bersikap. Gunakan pengalaman yang ada di tahun 2018 ini, untuk sama-sama kawal dan bergerak untuk tidak golput dan melawan hoax.
————-
Kepada Redaktur Pewara DInamika, Ilham Dary Athallah, Rosarita berkisah lebih lanjut atas apa yang disampaikan dalam Forum Dialog Pemuda Sadar Pemilu yang digelar di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY pada Kamis (8/11/2018), tentang bagaimana UNY sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK) bisa mengambil hikmah dari fenomena negeri di tahun ini. Guna kedepannya, bisa mendorong kesadaran setiap diantara civitas guna menjaga kondusifitas bangsa di tahun politik.
Dalam seminar, ibu menyebutkan awak kampus harus aktif bersikap dalam politik. Bisa dijelaskan apa yang dimaksud aktif?
Aktif maksud saya adalah poin tentang posisi para mahasiswa sebagai awak kampus. Mereka ini tidak hanya punya tugas belajar. Di tahun politik, posisi mereka adalah pemilih pemula. Dan dalam keyakinan saya, pemilih pemula punya peranan penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat.
Lihat statistik. Angka golput selama ini sangat tinggi Pada 2004, angka golput mencapai 15,93%. Puncaknya pada Pemilu 2009 sebesar 29,01% dan menurun di angka 24,89% pada Pemilu 2014. Dan akhir-akhir ini, kita lihat adanya informasi hoax yang begitu masif. Kebohongan, ujaran kebencian, marak di dunia maya dan lingkungan kita sehari-hari.
Lalu dari fenomena tersebut, apa yang awak kampus bisa lakukan?
Pemilih pemula harus bisa menurunkan angka golput. Perannya sangat penting untuk perwujudan kedaulatan secara konstitusional. Memilih berarti ikut menentukan siapa yang mengambil kebijakan di negeri ini, mewakilkan kebijakan saudara sejalan dengan aspirasi anda sebagai mahasiswa yang kerap punya pandangan-pandangan negeri.
Selama ini, mahasiswa saya pandang punya keinginan yang sangat tinggi maka berhak mengawal apabila, misalnya DPR atau pemerintah sedang mengodok undang-undang atau peraturan pemerintah. Jadi publik di undang-undang bisa untuk berpartasipasi di dalam pengambilan keputusan. Tentunya setelah keputusan itu disyahkan maka masyarakat harus mendukung kebijakan tersebut. Disinilah peran pemilih pemula. Memilih agar kebijakannya menyampaikan aspirasi mereka.
Hal ini agar penyelenggaraan kekuasaan dalam negara demokrasi dapat dipertanggungjawabkan dan kembali rakyat. Kebijakan pemerintah ingin terbuka secara sah dalam proses pengambilan keputusan. Mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam mengevaluasi setiap kebijakan yang diambil pemerintah, adalah penting.
Intinya, ikutlah nyoblos. Kawal kebijakan pemerintah. Jadilah aktif.
Kalau untuk fenomena hoax?
Di era digital, semua orang menjadi pemilik media karena dapat memproduksi dan menyebarkan informasi. Pola perubahan inilah yang dinamakan dengan mediamorfosis. Mengubah kehidupan budaya, politik, dan ekonomi masyarakat, karena semua orang bisa jadi sumber informasi bagi orang lain. Kuasa ini disalahgunakan banyak orang untuk hoax.
Jika mau dirunut lagi, yang perlu diantisipasi pada mediamorfosisis ini informasi mengenai pornografi, paham radikalisme dan terorisme. Tahun lalu misalnya, Kemkominfo memblokir aplikasi Telegram karena memuat konten radikalime dan terorisme.
Oleh karena itu, generasi milenial saya harapkan untuk bijak mematuhi rambu-rambu etika di media sosial dengan menjadi penyebar informasi yang positif, benar dan bertanggung jawab.
Apa yang dimaksud dengan rambu-rambu etika?
Ya bagikan info yang baik dan benar. Dan jika menemukan berita yang diduga hoax, silakan laporkan ke Kementerian Kominfo.
Jangan sampai malah sebagai terpelajar, membohongi masyarakat. Jangan menyebarkan informasi apapun yang tidak dipahami karena hoaks hanya akan mencerai-beraikan bangsa.
Kenapa mahasiswa penting? Kenapa tidak diingatkan calon-calon Presiden atau legislatifnya?
Semuanya diingatkan. Ada penanganan di hulu, dan di hilir. Bila menyebar hoaks dan ujaran kebencian, tim kampanye juga dapat diproses oleh otoritas yang berwenang sesuai dengan kaidah legal yang berlaku. Dan untuk mendukung hal tersebut, sekuat apapun pemerintah bekerja, memberi sanksi, akan percuma kalau permintaan informasi hoaks ini ada. Dan permintaan ini nyata.
Ada memang orang yang ingin dengar baik-baik dari calon presiden, partai, dan legislatif yang ia dukung. Tapi dia juga ingin dengar hanya yang jelek-jelek, dari lawannya. Informasi yang sesuai dengan kehendak dia ini mereka serap, jadilah fenomena filter bubble. Ini menyuburkan hoax, karena ada permintaan.
Implikasinya, berita bohong atau hoaks akan banyak bermunculan saat masa pemilu. Mahasiswa sebagai kalangan pemilih pemula diharapkan bisa jeli memaknai setiap informasi yang diterima. Jangan ciptakan permintaan itu, dan tangkal suplainya.
Tapi kekuatan mahasiswa kecil, dibanding misalnya para elit? Apa keunggulan yang dimiliki para mahasiswa?
Sumber informasi bermula dari ponsel. Sementara handphone jumlahnya sudah melebihi jumlah penduduk Indonesia yang mencapai Rp250-an juta orang, yaitu sampai 400 juta handphone
Bila kita dalami lagi angka-angka ini, Pengguna Internet di Indonesia juga cukup tinggi yaitu mencapai 143 juta orang. Sebesar 65% di antaranya adalah kaum milenial. Hoaks akan mudah masuk ke aplikasi Whatsapp atau media sosial lain seperti Instagram dan Facebook. Untuk itu, sebagai kalangan yang paling sering mengakses Internet, mahasiswa berhati-hati dan cerdas bermedia sosial. Mahasiswa itu milenial kan?
Cara untuk awak kampus taat dengan arahan-arahan tersebut?
Yang saya dan Ditjen IKP (Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo) lakukan, adalah himbauan. Memberi informasi.
Kominfo sebagai humas pemerintah akan bersama KPU dan Bawaslu melakukan literasi kepada kaum milenial agar melek pemilu. Hal ini dilakukan mengingat tren masyarakat dalam berpartisipasi dalam pemilu masih kurang. Pada pilihan legislatif (pileg) 2014 lalu, sebanyak 24,89% pemilih tidak menggunakan hak suaranya alias golput.
Tapi jangan salah, badan-badan lain di pemerintah juga terus melakukan pengawasan. Bawaslu dan Ombudsman misalnya, termasuk Kemristekdikti dan Kemen PAN-RB, akan terus memastikan bahwa universitas sebagai institusi senantiasa netral. Diskusi dan kontemplasi politik sangat dibuka sebagai kebebasan mimbar akademik. Tapi kampus tidak dijadikan sarana untuk kampanye. Dan itu ada tindakannya apabila dilanggar.
Harapan ibu dari keterlibatan awak kampus?
Kominfo sebagai humas pemerintah akan bersama KPU dan Bawaslu melakukan literasi kepada kaum milenial agar melek pemilu. Hal ini dilakukan mengingat tren masyarakat dalam berpartisipasi dalam pemilu masih kurang.
Selain itu, posisi UNY sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK) harus dimanfaatkan. Pak Rektor (Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY dalam sambutan di Forum Dialog Pemuda Sadar Pemilu), sudah menerangkan posisi UNY sebagai pencetak pendidik.
Untuk itu, ambillah hikmah dari fenomena negeri ini pada tahun 2018. Guna kedepannya, bisa mendorong kesadaran setiap diantara civitas guna menjaga kondusifitas negeri di tahun politik. Lalu sebagai pendidik, didiklah Indonesia ke arah yang lebih baik. Mulai dari menyebarkan informasi yang tidak hoax, dan partisipasi dalam pemilu.
Related Posts
Guru Itu Tugas Mulia, Penyalur dan Investasi Peradaban
Tilik Rancangan Dasar Hukum PTNBH UNY
Ir. Drajat Ruswandono, MT. (Sekretaris Daerah Gunungkidul) Pemkab Gunungkidul Dukung Penuh Kampus UNY!
Prof. Dr. Lantip Diat Prasojo, M.Pd. – Majukan UNY dengan Kecepatan Cahaya
GKR Hemas – Anugerah yang Sangat Layak
No Responses