Wawancara Khusus
Dr. Samsuri, M. Ag.
Kala Pancasila digagas Soekarno dan digodog bersama para pendiri bangsa dalam rapat BPUPKI, ia terlahir sebagai gagasan yang radikal. Menegaskan kemerdekaan sekaligus menolak kolonialisme, menjadi fitur ideologi yang tergolong progresif pada zamannya. Sehingga ditengah tantangan radikalisme baru yang kini hendak mencongkel Pancasila, semangat radikalisme yang sama laksana apa yang diteladankan pendiri bangsa kala memperjuangkan Pancasila, dalam pandangan Samsuri harus terus digelorakan. Guna kembali menegaskan, bahwa bangsa Indonesia yang merdeka dan paripurna, telah dan akan selalu berlandaskan Pancasila. Dalam sistem pemerintahan, maupun jiwa setiap insannya.
Kepada Redaktur Pewara Dinamika, Ilham Dary Athallah, Samsuri kemudian berkisah bagaimana Universitas Negeri Yogyakarta turut berkiprah menggelorakan Pancasila sesuai marwahnya sebagai ideologi yang radikal dengan semangat-semangat kebangsaan. Pemaknaan radikalisme positif tersebut, tak hanya dilakukan UNY lewat mata kuliah maupun langkah-langkah taktis di dalam lingkup pengajaran. Tapi juga menyeluruh dalam kerangka Tridharma Pendidikan Tinggi, dengan inisiasi Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi UNY di tahun 2017 menjadi salah satu pilar penyokongnya.
Bagaimana pandangan UNY atas radikalisme yang kini menjadi problema kehidupan berbangsa?
Tentu kita semua prihatin atas apa yang terjadi hari ini. Tapi kita harus ingat, bahwa gagasan Pancasila itu sendiri gagasan radikal pada zamannya. Digali dari masyarakat dan nilai-nilai kehidupan masyarakat, Sukarno menawarkan pilihan yang keluar dari mainstream kutub ide liberalisme dan ide komunisme yang begitu terpolarisasi pada dan Pasca Perang Dunia II. Kepribadian kita sendiri terumuskan dalam Pancasila.
Sehingga ketika kini Indonesia memandang radikalisme, adanya kelompok-kelompok fundamentalis yang mungkin berseberangan maupun dianggap menyatakan perang dengan Pancasila, menimbulkan teror, ini dilematis. Tafsir kita kerap berbeda, dan sering terlalu politis alih-alih keputusan yuridis. Kita kini sering menghubungkan radikalisme dengan agama. Padahal kita perlu hati-hati dalam mengidentifikasi siapa insan akademik atau insan tercerahkan yang mencoba kritis, siapa yang berpikir mendalam dan berkontemplasi, dan siapa yang memang merongrong Pancasila atau mencoba membangun kekuasaan baru.
Disinilah kita butuh gerakan intelektual Pancasila, melalui motivasi yang sifatnya radikal pula. Kita gelorakan Pancasila dengan radikal dan semangat, layaknya para pendiri bangsa kita dahulu. Mereka tak hanya berani mencongkel legitimasi sang koloni (Belanda) sebagai pemenang perang yang seharusnya memegang tampuk kepemimpinan negeri pertiwi pasca Jepang menyerah. Tapi juga berani menegaskan dalam pembukaan konstitusi yang masih menggemakan semangat Pancasila, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Peri kemanusiaan dan peri keadilan, intisari dari sila kedua dan ketiga, menjadi basis atas keyakinan tersebut. Menandakan bahwa para pendiri bangsa berani mengumandangkan Pancasila bukan hanya bagi Indonesia. Tapi juga bagi perdamaian dunia! Ini fitur ideologi yang tergolong progresif pada zamannya. Semangat radikal bersifat positif sedemikian rupalah, yang harus kita contoh dan teladani untuk menggelorakan Pancasila.
Bagaimana cara UNY kemudian menggelorakan semangat Pancasila tersebut?
Lewat berbagai macam medium. Inisiasi Pusat Studi Konstitusi dan Pancasila (PSKP) dibawah LPPM pada Juni 2017 lalu misalnya, jadi titik tolak UNY memperjuangkan knowledge sector kajian dan pengembangan implementasi. Dengan PSKP sebagai salah satu pilar, UNY hendak menelaah bagaimana kajian kebijikan Pancasila dapat meresap lewat pendidikan.
Apa tugas pokok dan fungsi Pusat Studi Konstitusi dan Pancasila?
Sebagai pusat studi, riset menjadi salah satu fokus. Dalam tahun anggaran ini, ada 25 proyek riset implementasi Pancasila yang sedang kita godog. Bersama Pusat Studi Pancasila di Perguruan tinggi lain yang kita berkolaborasi, ada 60an proyek riset. Tujuannya untuk mengembangkan terus pendidikan Pancasila baik di satuan pendidikan maupun perguruan tinggi. Terlebih lagi, Pancasila sebagai ruh semangat jiwa pendidikan itu ya mestinya tidak hanya tanggung jawab guru mapel misalnya PKN. Tidak akan berhasil maksimal.
Kolaborasi kerjasama dan gerakan sinergi sejatinya harus dilakukan secara komprehensif, karena Pancasila sebagai prinsip dasar, nilai dasar, sekaligus nilai praktis, ia harus ada di mana-mana. Di Matematika ada, IPA ada, IPS ada, seperti mata ilmu pelajaran tematik. Saat ini tematik sudah dihadirkan dalam Kurikulum 2013. Riset kita berkomitmen untuk terus mengembangkan itu.
Terkait kegiatan Festival Pancasila yang digelar UNY pada Rabu 6 Juni 2018?
Itu juga, fokus kita yang lain. Kita berkoordinasi dan kerjasama dengan UKP PIP yang kini telah menjadi BPIP, senantiasa melakukan kajian sarasehan dan diskusi wawasan kebangsaan. Kita mengusung inisiasi pendidikan berparadigma dengan melibatkan sejumlah elemen masyarakat, serta berharap bahwa UNY dapat menjadi sentranya penguatan dan pengembangan inisiatif itu. Awal Ramadhan (pertengahan bulan Mei), kami sudah sowan Pak Rektor dan beliau sangat suportif untuk menegaskan bahwa UNY bisa menjadi basis penguatan Pendidikan berparadigma Pancasila
Salah satu cara menguatkan hal tersebut, dengan turut menekankan kesadaran bahwa peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila tak boleh sekedar dimaknai sebagai seremonial upacara. Pancasila yang menjanjikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada warganya, tentu harus kita sambut juga dengan acara kegembiraan. Festival Pancasila kenapa banyak melibatkan elemen kampus masyarakat, juga harapannya agar peringatan dan penerapan Pancasila tidak hanya menjadi milik dan domain elit. Pancasila harus menjadi nilai hidup baik dalam wacana akademik dan praktik kehidupan sehari-hari
Sehingga utamanya ditujukan pada civitas akademika UNY, jauh hari sebelum puasa Pak Halili (Dosen PKnH UNY) sebagai inisiator kegiatan menyadari betul untuk menampilkan performance yang berbeda. Tujuannya untuk membangun kesadaran publik, dengan tetap menjaga peran strategis akademis intelektual di kampus. Orasi tiga menit para tokoh diselingi drama dan melodi Pancasila, kemudian dijatuhkan sebagai pilihan.
Apa yang hendak disampaikan melalui orasi-orasi singkat tersebut?
Kita ingin menarik pokok pikiran yang bisa ditawarkan, sekaligus mengingatkan. Bagaimana bekerja bersama untuk mengingatkan, bahwa ada hal substansial di pancasila: membangun keadilan sosial sebagai cita utama. Kami berpikiran bahwa persoalan kita di pancasila itu karena ada kesenjangan idealitas normatik dan nilai pancasila luhur dengan praktek kenegaraan dan masyarakat dan kebangsaan kita yang perlu kosentrasi.
Pendidikan memiliki urgensi untuk menjembatani kesenjangan itu. UNY sebagai kampus yang sudah beriktikad membangun kampus pendiidkan pancasla, ikhtiar itu adalah festival. Ikhtiar yang kita wujudkan dengan cara bersama-sama, antar tokoh-tokoh bangsa yang dimiliki UNY layaknya Buya (Prof. Ahmad Syafii Maarif, Anggota Dewan Pengarah BPIP dan Guru Besar Emeritus UNY), Pak Yudi Latief (Kepala BPIP dan Dosen PKnH UNY), serta para rektor PTN Yogyakarta dan banyak lainnya, saling melengkapi.
Dalam tataran akademik formal layaknya Mata Kuliah Wajib Pancasila, bagaimana pelaksanaannya?
Pelaksanaan tentu baik. Tapi untuk mengatakan apakah efektif atau tidak, perlu riset. Ini salah satu yang sedang kami kaji dalam program penelitian tahun ini. Dan kami berharap riset yang dikelola jajaran 1 UNY (Bidang Akademik UNY) bisa memberikan kontribusi. Dari data itu, kerja ilmiah yang harus berbasis penelitian untuk saya bisa mengatakan apakah efektif atau tidak.
Tentu dalam pandangan saya, kita tidak boleh menafikan adanya kendala dalam fasilitas maupun relevansi pembelajaran di era generasi yang jauh berbeda dengan kita sebagai generasi sebelumnya. Memasukkan Pancasila sesuai dengan landasan yang dibawanya sebagai living values, butuh kerja keras. Ada tema global, kontemporer, terorisme, lingkungan hidup, hingga kemanusiaan, yang kini ada di depan mata para generasi kita.
Kalau kita tidak mengadaptasikan pelajaran dengan mengejawantahkan bagaimana nilai2 pancasla itu menjawab dan menghidupi persoalan yang generasi muda kita sedang dan kelak akan hadapi, sulit kita untuk relate dengan generasi selanjutnya. Mata Kuliah Wajib Umum Pancasila wajib terus dikembangkan sesuai tantangan zamannya.
Terkait dengan adanya dosen atau mahasiswa di beberapa universitas yang diduga terlibat radikalisme, bagaimana UNY mencegah hal serupa?
Pendidikan Pancasila tetap terus berlangsung, dan atas setiap pilihan yang diambil tiap insan, memiliki konsekuensinya masing-masing di mata hukum. Tapi, bekali mereka dengan peran publik yang bertanggung jawab dan kita tidak boleh prasangka (bahwa) mahsiswa ini belum dewasa. Kita ajarilah biar dewasa kalau dipandang belum dewasa.
Jangan diarahkan atau diperintah, apalagi bertindak sedikit kita judge sebagai radikal. Terlebih UNY, dan iklim dunia universitas, ini kan plural. Kita harus memposisikan diri untuk sekedar memberi pengetahuan dan wejangan. Lalu biarkan mereka sebagai orang dewasa berkontemplasi dan memikirkan sendiri. Selama nilai-nilai yang kita tular dan harapkan adalah nilai yang baik, maka akan baik pula buah ranum yang akan tumbuh dari pohon kepribadian mereka. Karena jika tidak diajak dewasa, kapan mereka akan dewasa?
Berikan kepercayaan mereka memakai peran sesuai jamannya. Jangan jadi tua sebelum tua. Gerakan mahasiswa dan dunia akademik, telah terbukti seiring zaman menjadi elemen vital bangsa ini. Bagaimana mahasiswa dan dunia pendidikan, tetap menjadi kesetiaannya sebagai gerakan moral. Kultur akademik dan Pancasila akan terus memelihara keberagaman dan idealitas nilai-nilai luhur tersebut.
Keterbukaan ruang-ruang dialog dan rembugan, juga jadi kunci agar ada komunikasi pertukaran ide antar insan maupun antar generasi. Itu semua dinamika, yang kalau kita maknai dengan semangat-semangat kedewasaan sembari memberi tauladan luhur, maka Pancasila tetap akan mampu bergelora. Ke penjuru tanah air dengan begitu radikalnya, layaknya kegigihan yang telah diteladankan para pendiri bangsa.
Tempat Tanggal Lahir: Indramayu, 19 Juni 1972
Latar Belakang Pendidikan:
S1 Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan IKIP Yogyakarta, 1997
S2 Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 2000
S3 Pendidikan IPS Universitas Pendidikan Indonesia, 2010
Jabatan:
Dosen FIS UNY (2002-sekarang)
Sekretaris Jurusan PKnH FIS UNY (2011)
Ketua Jurusan PKnH FIS UNY (2012-2017)
Kepala Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi LPPM UNY (2017-sekarang)
—-
Related Posts
Guru Itu Tugas Mulia, Penyalur dan Investasi Peradaban
Tilik Rancangan Dasar Hukum PTNBH UNY
Ir. Drajat Ruswandono, MT. (Sekretaris Daerah Gunungkidul) Pemkab Gunungkidul Dukung Penuh Kampus UNY!
Prof. Dr. Lantip Diat Prasojo, M.Pd. – Majukan UNY dengan Kecepatan Cahaya
GKR Hemas – Anugerah yang Sangat Layak
No Responses