Selayang Pandang Doktor Honoris Causa

 LAPORAN UTAMA

Selayang Pandang Doktor Honoris Causa

 

Rony K. Pratama

 

“Penganugerahan gelar doktor honoris causa lazim dilakukan dalam tradisi akademik. Pertama kali dilakukan di University of Oxford. Pemberian gelar semata-mata karena kontribusi seseorang kepada ilmu dan masyarakat”

 

Pemberian Doktor Honoris Causa kepada Sri Sultan Hamengkubuwana X lazim dilakukan dalam tradisi akademik universitas. Penganugerahan itu telah dimulai ratusan tahun silam. Baik di Eropa maupun Amerika Serikat, penyerahan itu bukan sebatas cendera mata, melainkan upaya angkat topi: sang penerima dianggap turut berkontribusi bagi ilmu dan masyarakat. Tentu saja keputusan di belakang dapur sebelum pemberian sudah diracik matang. Dari analisis sampai permufakatan ditempuh sedemikian rupa secara bertanggung jawab.

 

Gibson dkk. (1935) dalam buku bertajuk Oxford University Ceremonies mencatat pada tahun 1470 kampus prestisius di Inggris Raya pernah memberikan gelar doktor honoris causa kepada Lionel Woodville (1447-1484). Dia pernah menjabat Rektor University of Oxford periode 1479-1483. Pada waktu bersamaan pernah menduduki jabatan sebagai Uskup di Salisbury, berlokasi dekat Stonehenge.

 

Semula pemberian itu bukan hal biasa di Eropa. Tapi menjelang abad ke-16, kampus-kampus besar lumrah memberikannya. Tercatat manakala Raja Skotlandia, James Charles Stuart, bertandang ke University of Oxford tahun 1605 bersama 43 rombongan, sekitar 15 orang golongan bangsawan dan ksatria menggondol gelar kehormatanMaster of Arts. Tercitra betul kala itu betapa gelar kehormatan dilayangkan kepada kaum papa alias aristokrat. Ilmuan autodidak yang tak mencecap perguruan tinggi agaknya masih belum dipertimbangkan meraih gelar serupa.

 

Apakah saat gelar disabet, seseorang berhak mencantumkan gelar di depan namanya? Inggris, Australia, dan Selandia Baru adalah pengecualian. Mereka tak biasa mencantumkan gelar doktor di depan nama asli. Sekalipun terdapat pengecualian. Antara lain Benjamin Franklin, salah satu pemaraf Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, biasa mendaku diri sebagai Doktor Benjamin. Dia sendiri menerima gelar itu dua kali. Pertama, dari University of St. Andrews tahun 1759. Kedua, dari University of Oxford tahun 1762.

 

Ully Isnaeni Effendi, Tendik Kantor Arsip UGM, dalam artikelnya berjudul Sekilas tentang Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa (HC)/Gelar Kehormatan di Universitas Gadjah Mada (2016), menyatakan tak semua universitas berhak mengeluarkan gelar doktor honoris causa. “Hanya perguruan tinggi/universitas yang memenuhi syaratlah yang diberikan hak secara eksplisit untuk memberi gelar Doktor Honoris Causa (H.C)/Doktor Kehormatan,” catatnya.

 

Ully menyitir Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan No. 120 Tahun 1963. Disana dijelaskan tiga poin. Pertama, gelar doktor, disingkat Dr diberikan kepada sarjana setelah menempuh dengan hasil baik sesuai promosi dengan mempertahankan sebuah tesis. Kedua, yang berwenang menyelenggarakan promosi tersebut adalah universitas negeri/universitas swasta disamakan. Ketiga, syarat-syarat untuk menjadi promovendus, syarat-syarat dan prosedur promosi diatur Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.

 

Bagaimana prasyarar sebuah perguruan tinggi sebelum melayangkan gelar doktor honoris causa kepada seseorang? Ully mencatat tiga hal berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Nomor 43 Tahun 1980. Pertama, pernah menghasilkan sarjana dengan gelar ilmiah doktor. Kedua, memiliki fakultas atau jurusan yang membina dan mengembangkan bidang ilmu pengetahuan yang

bersangkutan dengan bidang ilmu pengetahuan yang menjadi ruang lingkup jasa dan atau karya bagi pemberian gelar. Ketiga, memiliki Guru Besar Tetap sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dalam bidang yang dimaksud dalam poin nomor 2.

 

No Responses

Comments are closed.