“Membumikan Pancasila tak harus menyodorkan argumen akademik. Cairnya Pancasila ternyata acap dikreativitaskan melalui seni pertunjukan. Di sana Pancasila dirayakan secara estetik”
Wijil Rachmadani ditakdirkan lahir dan tumbuh di zaman teknologi siber. Gadis kelahiran negeri di atas awan, Wonosobo, itu lebih familier dengan gawai pintar. Baginya benda canggih serbaguna itu tak ubahnya seperti kebutuhan primer lain. Hanya ketak-ketik di papan layar, pusparagam pengetahuan hadir secara lekas. Penanda ini ternyata mengubah pemikirannya. Terutama soal memaknai Pancasila.
Bagi Wijil, Pancasila, sebagai ideologi negara, tak seberat teori dan tafsir yang dikemukakan kalangan menara gading. “Pancasila itu ya wujud nyata keseharian kita. Memahami Pancasila semudah bermain Smartphone,” tuturnya. Wijil adalah contoh dari jutaan generasi milenial yang kini dijadikan buah bibir. Sebuah generasi yang digadang-gadang mengisi masa depan Indonesia lebih baik—sebagaimana dicitrakan bonus demografi.
Wijil, seorang pegiat muda teater Yogya, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2013, punya segudang argumen kenapa Pancasila mesti dibumikan. Pancasila, menurutnya, adalah fondasi negara yang sudah final. “Banyak orang mengartikan Pancasila. Malah banyak juga yang berdebat. Hingga meragukannya pula,” ucapnya. Tapi, menurut gadis manis berambut lurus sebahu itu, Pancasila diungkapkan sebatas kata-kata. Jamak orang melupakan bahwa Pancasila adalah ekspresi laku.
Mempraktikkan Pancasila lebih penting. Setidaknya itu menurut pengalaman Wijil. “Di dunia teater,” lanjutnya, “banyak hal, yang menurut saya, justru menerapkan nilai-nilai Pancasila.” Ia mengungkap proses seni pertunjukkan, dari pemilihan naskah hingga pementasan, secara implisit menginduk pada tiap sila. Salah satu contoh yang dikemukakan meliputi nilai toleransi.
Poin ketiga, Persatuan Indonesia, sangat jelas diterapkan selama proses teater. “Ketika berproses, tiap pemain, sutradara, artistik, pimpinan produksi, dan elemen-elemen lain, kan harus bahu-membahu. Saling kerja sama. Saling melengkapi,” ujarnya. Wijil menyadari bila perteateran absen kebersamaan yang saling mengisi, alih-alih sukses, malahan bisa retak, bahkan dapat dikatakan gagal. Teater dan toleransi adalah sepaket yang tak bisa dipisahkan.
Nilai guyub bukan hanya terjadi sebelum pementasan. Kala para pemain naik panggung, kerlap-kerlip lampu disorotkan, genta orkestrasi dimainkan, dan cakap saling-sambut, mereka niscaya masuk ke ruang harmoni. Sisi keselarasan ini, bagi Wijil, sangat Pancasialis. “Bayangkan kalau tiap elemen berdiri sendiri-sendiri. Kan tidak masyok,” jelasnya.
Anasir kemanusiaan dalam sila kedua dibabar Wijil. Suatu ketika ia mementaskan monolog berjudul Surti dan Tiga Unggas karya Goenawan Mohamad. Naskah itu mengisahkan pergolakan seorang istri yang ditinggal suami. Sang suami pergi berjuang melawan kolonialisme Belanda. Cinta istri terhadap suami membuncah tapi demi nasionalisme ia merelakan belahan hatinya pergi.
“Ada sisi kemanusiaan di antara sepasang pasutri itu. Cinta direlakan demi kepergian menghadap mara bahaya. Sekali lagi, naskah itu tentang bela negara,” kata Wijil. Sila kedua yang secara lengkap berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, acap kali diejawantahkan lebih kreatif. Di tangan para pemain teater, sila kedua yang dianggap baku dan kerap diasosiasikan di ranah politik, dikuak secara cair, estetis, dan memasyarakat. Tanpa pernyataan denotatif, esensi Pancasila, ternyata dapat dipersembahkan lebih ciamik dalam seni pertunjukan.
Sedangkan poin keadilan, sepengalaman Wijil di jagat seni panggung, pernah diejawantahkan manakala mementaskan naskah berjudul Game. Naskah itu ia geluti bersama komunitas Omah Teater Jogja. Secara ringkas naskah tersebut mengeksplanasikan sejumlah kritik sosial mengenai ketidakramahan Yogya sebagai kota pelajar dan budaya. “Posisi saya menjadi sutradara saat itu. Salah satu dari tiga sutradara. Menariknya, selama proses, saya menemui nilai-nilai keberadaban, di samping nilai keadilan, dalam melihat Yogya saat ini,” tuturnya.
Setarikan napas dengan Wijil ihwal nilai kolektivitas di Pancasila, Yudi Latif, penjaga gawang Pancasila dalam koridor akademik, berpendapat kalau bangsa Indonesia menghadapi problem serupa. Menurut Yudi, agar persoalan itu diurai benang merahnya, pertama-tama Pancasila mesti diedukasikan secara praktik. Terutama melalui semangat gotong-royong. Analisis Yudi sampai pada titik kegagalan pendidikan karakter. “Saya curiga kalau karakter personal kita gagal, karakter kolektif kita juga gagal,” tegasnya.
Tantangan besar itu dalam pandangan Yudi wajib dijawab dunia pendidikan. Baginya, selama ini praktik pendidikan di sekolah masih sebatas proses pelajaran. “Tapi tidak pernah punya perhatian serius bagaimana mengajar anak didik supaya benar menjadi manusia,” katanya. Titik sentral subjek, yakni pendidikan manusia, menjadi fokus Yudi.
Apa yang digelisahkan Yudi bisa ditopang lewat pendidikan teater sebagaimana dijelaskan Wijil. “Teater memberi edukasi kolektivitas. Kebersamaan yang semacam ini ada di teater, ” tutur Wijil melengkapi Yudi.
No Responses