Seminar Internasional Tak Perlu Lagi Mahal

 LAPORAN UTAMA

Kemampuan Teleconference membuat jarak bahkan batas negara menjadi sirna. Pemakalah tetap dapat berbicara tatap muka begitu mulus dari ruang pribadinya masing-masing, dengan internet cepat yang dimiliki Digital Library. Masa depan seminar internasional yang tak lagi mahal, ada dalam genggaman.

Prof. Mohd Fuad Mat Jali dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), masih ingat bagaimana ia bersama rombongan melakukan kunjungan kemitraan ke Program Pascasarjana dan Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UNY pada tahun 2013 lalu. Selama satu minggu, 37 mahasiswa dan dosen UKM menyambangi Indonesia dalam acara bertajuk Jelajah Ilmu.

 

Tujuan kedatangan University Kebangsaan Malaysia adalah terlibat dalam konferensi Jurnal Club yang membahas  tentang isu terkini dalam pelaksanaan pendidikan khusus, sekaligus mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan khusus di Indonesia dan belajar kebudayaan Indonesia. Tidak hanya di UNY, mereka juga mengunjungi SLB Kannamanohara dan Panti Rehabilitasi di Pundong Bantul untuk mendalami hal tersebut.

 

Lima tahun berselang, tepatnya Kamis, (08/03/2017) lalu, Prof. Fuad kembali mengungapkan kebahagiannya dapat kembali ke UNY. Wajah dan suaranya begitu jernih dan terasa berhadapan dengan semua hadirin di Lantai 4 Gedung Digital Library, termasuk diantaranya adalah Dirjen Belmawa Kemristekdikti Prof. Intan Ahmad, Rektor UNY Prof. Sutrisna Wibawa, dan beberapa rektor lain yang tergabung dalam proyek 7in1. Namun raganya, tak ada di sana. Yang nampak hanyalah awak sang profesor yang sedang duduk di ruangannya, menyapa dengan hangat peserta teleconference yang ada di ruang seminar Digital Library UNY.

 

“Baik sekali kembali kenal dan berjumpa dengan UNY. UKM bersama UNY telah memiliki beberapa program ada Student Mobility dan Joint Publication . Teleconference terasa begitu dekat,” ungkap Fuad disambut tepuk tangan segenap sivitas UNY yang ada dalam ruangan. Sembari meneguhkan keyakinan layaknya yang diungkapkan Intan dan Sutrisna dalam forum serupa, bahwa teleconference sebagai salah satu fasilitas terbaru di era disrupsi dapat mengubah cara kita berseminar dan menjalankan produksi pengetahuan dengan lebih intensif. Karena tidak perlu tatap muka dan pergi jauh-jauh dalam penyelenggaraan seminar internasional , serta tak perlu lagi mahal.

 

Semangat Efisiensi

 

Keberadaan jaringan internet yang dedicated dan fasilitas hardware teleconference yang mumpuni, membuat ruang seminar yang berada di lantai 4 Gedung Digital Library digadang-gadang sebagai sarana menyelenggarakan seminar internasional secara lebih dinamis. Ruangan berkapasitas 300 kursi dan memiliki proyektor yang mampu menampilkan tujuh peserta group call secara sekaligus tersebut, bahkan disebut oleh Intan sebagai cara UNY dan Indonesia mampu memanfaatkan disrupsi digital.

 

Karena dengan kecanggihan teknologi tersebut, UNY diharapkan bisa menggelar seminar internasional dengan rekan sejawat akademik dari luar negeri secara lebih murah. Jika biasanya universitas memiliki beban pendanaan untuk menyediakan tiket pesawat hingga akomodasi hotel yang secara biaya relatif mahal, hal tersebut bisa ditekan seminimal mungkin ketika pembicara tak perlu didatangkan.

 

Waktu penyelenggaraan seminar internasional pun bisa lebih fleksibel karena pembicara tak perlu meluangkan waktu hingga berhari-hari datang ke Indonesia dan Yogyakarta untuk melakukan paparan. Menurut Intan, mereka bahkan akan sanggup sekadar meluangkan waktu beberapa jam untuk diskusi sesuai dengan termin waktu yang disediakan, lalu makan malam bersama keluarga di malam harinya.

 

“Kalau mereka bicara lewat video conference seperti ini kan, tinggal beri fee saja tidak perlu akomodasi. Penghematan luar biasa, mudah secara teknis dan penjadwalan, dan tidak perlu ongkos. Pengembngan terobosan seperti inilah yang memang menjadi tujuan program 7in1: peningkatan akses dan mutu universitas,” ungkap Intan.

 

Selama ini, UNY mengalokasikan anggaran program bantuan penyelenggaran seminar internasional sebesar 1,5 miliar rupiah. Pada tahun 2018, dana bantuan tersebut dapat diakses oleh 15 jurusan yang menghendaki gelaran seminar internasional, dengan besaran bantuan setiap seminar internasional sebanyak 100 juta rupiah. Dana bantuan tersebut terdistribusi melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) secara terpusat, dan memiliki sasaran pada penyelenggaran seminar internasional yang terindeks Scopus

 

“Jadi dana maksimumnya 100 juta, dan penggunaannya bisa untuk macam-macam: operasional, honorarium, akomodasi, biaya perjalanan, konsumsi, pengurusan indeks, dan lain-lain. Kecuali belanja peralatan, itu tidak boleh,” ungkap Dr. rer. nat. Senam, Wakil Rektor IV UNY.

 

Walaupun terkesan besar, dana bantuan tersebut sebenarnya hanya bersifat stimulus dan tidak mencukupi biaya penyelenggaraan sepenuhnya. Beberapa sumber dana lain layaknya pengenaan biaya peserta maupun pencarian sponsor, disamping bantuan dari Kemristekdikti, biasanya menjadi solusi. Perjuangan untuk memperoleh dana tambahan itulah, yang diungkapkan Sutrisna dapat berlangsung lebih mudah jika seminar internasional dilangsungkan melalui video conference.

 

Karena ketika pembicara tak perlu datang dan anggaran akomodasi pembicara mampu ditekan, panitia seminar yang biasanya berasal dari fakultas-fakultas di UNY bisa berfokus pada penyelenggaraan kegiatan. Dan yang dimaksud dengan semangat efisiensi, bukanlah mengurangi anggaran bantuan seminar internasional yang disediakan oleh universitas. Namun lebih kepada bagaimana membuat dana tersebut, mampu terutilisasi lebih maksimal oleh setiap penyelenggara seminar.

 

“Misalnya mendatangkan pembicara dari Eropa, itu satu orang, tiket pesawat pulang pergi saja biasanya jutaan kalau tidak belasan juta. Belum hotelnya juga kita sediakan. Semangat efisiensi ini yang hendak dibawa UNY, dan mampu difasilitasi dengan adanya Digital Library,” ungkap Sutrisna.

 

Produksi Pengetahuan

 

Dari efisiensi dan penyelenggaraan teleconference yang lebih mudah, Sutrisna mengungapkan bahwa fasilitas ini bisa berkontribusi positif bagi pengembangan artikel jurnal UNY secara keseluruhan. 274 artikel jurnal yang dipublikasikan dalam indeks internasional pada 2017 lalu, atau meningkat sebesar 711% dibanding 16 judul pada 2016, dapat terus digenjot agar UNY dapat berkontribusi bagi produksi ilmu pengetahuan sekaligus menghadirkan diri sebagai universitas berkelas dunia.

 

Lebih jauh lagi, Intan juga mengungapkan bahwa hal tersebut akan mampu membangun atmosfir akademik yang lebih baik. Semangat efisiensi dipandang Intan sebagai kemampuan untuk memproduksi lebih banyak. Di masa lampau, mekanisasi pekerjaan yang dilakukan oleh buruh membuat revolusi industri mampu menghadirkan keluaran produk yang lebih banyak guna memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat global.

 

“Dan di masa sekarang, video conference yang lebih memudahkan kita dalam menggelar seminar internasional, harus mampu membuat kita memproduksi pengetahuan lebih banyak. Karena tantangan zaman semakin demanding, dan kebutuhan dunia ini atas pengetahuan yang reliable untuk terus mengembangkan potensi umat manusia memang tak bisa dinafikan. Sehingga kalau kita ingin meningkatkan mutu, mari ikut mengembangkan ilmu pengetahuan dengan kemudahan yang kini kita miliki,” pungkas Intan.

No Responses

Comments are closed.