Kebahagiaan selalu menjadi satu hal yang senantiasa dicari oleh umat manusia, mulai dari yang muda; setengah tua; hingga yang lanjut usia. Banyak yang berkata bahwa kebahagiaan itu sederhana, namun kenyataannya banyak yang mengeluhkan juga bahwa tidak ada bahagia yang sederhana. Dua sisi kontradiktif ini tercipta karena perbedaan konsep tentang hakikat kebahagiaan. Kabar baiknya, Henry Manampiring menghadirkan konsep kebahagiaan yang lebih mudah dipahami lewat kacamata filsafat yang konon terkesan sukar untuk dimengerti. Henry Manampiring mengungkapkan bahwa kebahagiaan (baik yang rumit maupun sederhana) dapat diperoleh melalui exercise (latihan), sehingga pada dasarnya semua orang dapat menikmati hidup dengan bahagia. Henry Manampiring mengupas konsep tersebut dengan sajian yang asyik sekaligus menarik lewat bukunya yang berjudul Filosofi Teras.
Filsafat Stoa
Dr. A. Setyo Wibowo, seorang dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya memberikan semacam catatan pengantar untuk buku Filosofi Teras pada bagian pembuka. Ia mengatakan bahwa filsafat kerap kali dimaknai ‘buruk’ oleh sebagian besar orang, padahal filsafat bisa menjadi pelajarang yang membahagiakan sekaligus meneduhkan. Konsep dasar filsafat stoa sendiri menurut kaum Stoa adalah kebahagiaan tercipta ketika manusia dalam keadaan tidak terganggu. Artinya, seseorang akan merasa bahagia jika ia terbebas dari penderitaan; emosi; dan dari nafsu-nafsu. Oleh sebab itu, filsafat stoa atau filosofi teras (istilah yang dipakai Henry Manampiring) mengajak seseorang untuk mewaspadai empat jenis emosi negatif, yaitu iri hati; takut; sesal; dan kenikmatan.
Bermula dari Fakta
Buku Filosofi Teras semakin layak untuk dipercaya karena latar belakang penciptaannya didasari atas fakta, bukan katanya. Semua bermula saat Henry Manampiring divonis oleh seorang Psikiater sedang menderita Major Depressive Disorder atau bahasa sederhananya depresi (halaman xix). Vonis dari Psikiater memang sudah diakui oleh Henry Manampiring ihwal kebenarannya, karena Henry Manampiring menyadari bahwa sejak dulu ia memang seorang pribadi yang mudah negative thinking. Tak tanggung-tanggung, Henry Manampiring bahkan mengakui bahwa ketika menghadapi situasi tertentu, hal yang selalu terlintas di benaknya adalah risiko terburuknya.
Satu hal menarik lainnya yang tidak boleh tertinggal untuk dibahas adalah latar belakang penamaan ‘filosofi teras’ yang dipilih oleh Henry Manampiring. Pada halaman 22 hingga 23, disebutkan bahwa penamaan filosofi teras didasari atas kisah seorang pedagang kaya dari Siprus yang bernama Zeno. Suatu ketika, Zeno terdampar di Athena dan tertarik belajar filsafat kepada Crates. Tak hanya Crates, Zeno juga mulai belajar dari banyak filsuf hingga akhirnya Zeno mengajarkan filosofinya sendiri. Zeno sendiri senang mengajar di sebuah teras berpilar yang dalam bahasa Yunani disebut dengan stoa. Atas dasar kisah inilah, Henry Manampiring menamai bukunya dengan istilah Filosofi Teras yang diambil dari kata stoa.
Mengapa Manusia Perlu Menerapkan Filsafat Stoa?
Pada dasarnya, filsafat stoa tidak bertujuan untuk memeroleh hal-hal yang bersifat eksternal (seperti anak-anak yang sukses atau mendapatkan mobil mewah yang telah lama diidam-idamkan). Dua hal utama yang menjadi tujuan filsafat stoa adalah hidup yang terbebas dari emosi negatif dan hidup yang mengasah kebajikan (halaman 27). Hidup yang terbebas dari rasa curiga; sedih; atau marah akan membuat seseorang memiliki hidup yang tenteram. Sementara jenis kebajikan yang perlu diasah menurut filsafat stoa meliputi kebijaksanaan; keadilan; keberanian; dan pemertahanan diri.
Setelah menyebutkan dua tujuan utama filsafat stoa, Henry Manampiring memberikan contoh-contoh konkret tentang wujud-wujud emosi negatif yang kerap ‘menghantui’ kehidupan manusia. Sebut saja rasa iri hati manusia ketika melihat kekayaan orang lain. Dalam filsafat stoa, cara ampuh menghadapi emosi negatif jenis ini satu di antaranya adalah menempatkan kekayaan pada tempatnya (halaman 87). Ketika seseorang lebih kaya tidak berarti dia menjadi lebih baik dari yang lain, karena hal yang benar adalah ketika seseorang lebih kaya, berarti dia memiliki aset yang lebih banyak. Sederhananya, kekayaan adalah ukuran kuantitas harta, bukan ukuran kualitas pribadi seseorang. Oleh sebab itu, kekayaan tidak menjadi tolok ukur kualitas manusia sebagai pribadi yang lebih baik.
Sebuah Kekurangan Ringan
Di balik semua kelebihan yang telah diuraikan, buku Filosofi Teras tetap saja memiliki secuil kekurangan yang menjadi indikasi bahwa penulisnya memang manusia biasa, bukan malaikat atau manusia setengah dewa. Secuil kekurangan tersebut adalah kesalahan berbahasa dalam beberapa kalimat yang membuatnya agak sulit dipahami. Hal ini agaknya dilandasi oleh pilihan kalimat yang digunakan cenderung berbentuk bahasa non-resmi sehari-hari, namun setidaknya tetap memiliki ketepatan dalam menggunakan tanda baca agar dapat terbaca dengan lancar. Satu di antara kalimat yang kurang tepat adalah
Depresi banget gw, kata abangnya martabak nutella sudah habis (halaman xix). Saya tidak memersalahkan kebakuan kata yang digunakan, karena memang yang dipilih adalah bahasa percakapan sehari-hari. Hal fundamental yang menjadi masalah adalah ketiadaan tanda koma di antara kata ‘abangnya’ dan ‘martabak’. Ketika tidak ada tanda koma di antara dua kata tersebut, maka makna yang dihasilkan akan kacau.
No Responses