Sepercik RIndu Kampung Halaman

 LAPORAN UTAMA

“Mudik makin menggurita pada tiap zaman dan tiap generasi. Tua dan muda tanpa perbedaan status sosial memiliki ekspresi beraneka rupa. Yang menyamakan mereka hanya dorongan kuat melepas kangen di kampung halaman”

 

Tradisi mudik tak jatuh dari langit. Mudik justru mengemuka dari bumi. Sisi historisnya melompat ke masa kerajaan Majapahit. Pulau Jawa ditengarai sebagai lokasi pertama kenapa mudik ditradisikan turun-temurun. Abdul Malik Usman, Dosen Filsafat UGM dan UIN, menarasikan musabab mudik secara bernas. Ia memulai sejarah mudik dari dorongan internal orang kota untuk kembali ke kampung halaman. Niatnya berziarah ke tanah leluhur.

 

Pengaruh animisme masih kuat. Mudik, di Jawa, terutama, pada masa silam tak absen dari sisi kearifan lokal itu. “Zaman dulu orang-orang ke makam. Bersih-bersih. Tapi tujuannya sebetulnya untuk memperoleh keselamatan. Ini berkaitan dengan kepercayaan dengan roh-roh halus,” ucapnya. Selain keselamatan, menurut Abdul, terdapat dua poin lain, yakni kelapangan dan kemurahan rezeki.

 

Senada dengan Abdul, Silverio Raden L. A. S., Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma, menuturkan kalau tradisi mudik sudah ada sejak era Majapahit. Bahkan, menurutnya, tradisi itu kian mengalami sinkretisasi pada masa Mataram Islam. “Kapan awal mula mudik tidak diketahui tepat tanggalnya. Tapi ada yang mengatakan kalau tradisi mudik sudah populer ketika masa Majapahit dan Mataram Islam,” ucapnya, seperti dilansir kompas.com.

 

Silverio melanjutkan, wilayah kekuasaan Majapahit mencapai teritori yang kini disebut Sri Langka dan Semanjung Malaya. Ketika para perwakilan Majapahit di tempatkan ke titik-titik itu maka mereka niscaya punya dorongan untuk kembali. Ditugaskan ke tepi perbatasan yang jauh membuat representasi Majapahit itu dirundung rindu. Kehendak pulang kampung itulah yang diduga merupakan sejarah mudik.

 

Tradisi mudik sempat vakum. Menurut Abdul, sekitar dua sampai tiga generasi, jamak orang tak melanjutkan mudik. Penyebabnya dianggap masih kabur. Muncul lagi saat kerajaan Islam berdiri. Lewat islamisasi pada tiap ranah, “Lalu muncul momen Idul Fitri. Di situ tradisi mudik menemukan momentumnya,” tuturnya. Istilah silaturahmi kemudian dikenal luas seiring dengan spirit mudik.

 

Menjelang hingga sesudah Idul Fitri, mudik, baik di masa silam maupun sekarang, makin bervariasi ekspresi budayanya. Tiap kota punya kekhasan tersendiri. Mudik serupa es yang mencair perlahan hingga membasahi apa pun saja. Bagi Abdul, mudik yang dinamis semacam itu, ialah ejawantah dan hasil kreativitas dari keanekaragaman bangsa Nusantara. “Itu kenapa mudik masih dipertahankan hingga sekarang.”

 

***

 

Keunikan mudik, selain hanya terjadi di Indonesia, juga bukan semata potret sosiologis. Bukan pula pergerakan masif dari kota ke desa. Abdul mengatakan dimensi nilai yang melatarbelakangi mudik menarik ditelusuri. “Bisa Anda bayangkan, di tengah zaman yang canggih dengan komunikasi jarak jauh, kenapa orang masih melakukan mudik? Ini fenomena menarik,” jelasnya.

 

Abdul menduga kalau kecenderungan orang Indonesia itu masih kental ikatan batin, emosional, dan primordial. Kepribadian tersebut mengakar kuat di dalam DNA orang Indonesia. Kalender terus berganti, teknologi mutakhir makin fantastis, tetapi karakteristik bawaan tak kenal perubahan. Nilai menjadi faktor determinan di sana.

 

Menganalisis gejala unik mudik, Abdul mengomparasikan kehidupan kota dan desa. Di kota orang diperkerjakan secara mekanik. Tiap hari berada di situasi yang sama, pekerjaan yang serupa. Orang bekerja tak ubahnya seperti robot. Ia dikendalikan dan diperas tenaganya tanpa bebas mengatur jadwal sehari-hari.

 

Aktivitas monoton manusia di kota akhirnya melahirkan sepercik rindu kampung halaman. “Sadar atau tidak ada sesuatu yang hilang. Yang hilang itu rasa,” tegas Abdul. Rasa sukar subur di wilayah dengan jenis tanah mekanis dan industrial. Mati rasa, menurut Abdul, harus diobati oleh penawar cespleng, yakni kembali ke tempat kelahiran.

 

Kota sebagai kawasan mesin industrial hanya mensubordinatkan manusia layaknya sekrup dan onderdil produksi. Keadaan ini membonsai manusia individualistik. “Maka tidak mengherankan kalau orang kota terkena perasaan asing,” ungkapnya. Mudik menjadi penting untuk menyembuhkan luka manusia. Dengan menghirup atmosfer desa, ia tersegarkan kembali dan menjadi manusia baru. Menjadi manusia kudus.

No Responses

Comments are closed.