Kontroversi Scopus diperbincangkan khalayak. Kritik tajam disodorkan sebagai bentuk antitesis status quo. Buku, esai, artikel, dan karya tulis dianggap lebih bermanfaat daripada tulisan
USAI Kementerian Riset dan Dikti meluncurkan Peraturan Menteri No. 20 tahun 2017, pelbagai kalangan, baik akademisi maupun peneliti, gayung bersambut. Pro dan kontra mengemuka, terutama di koran dan media sosial. Kebijakan itu menyoal kewajiban guru besar, selama tiga tahun, agar memublikasikan gagasannya di tiga jurnal ilmiah internasional atau satu artikel ilmiah di jurnal bereputasi.
Deddy Mulyana, Profesor Fakultas Ilmu Komputer (Fikom) Universitas Padjadjaran (UNPAD), sontak merespons iktikad pemerintah itu. Pekan keempat bulan Februari lalu buah penanya terbit berjudul “Hantu” Scopus di Kompas. Kritik pedas sekaligus solusi alternatif ia lontarkan secara gamblang. Deddy menulis bahwa Scopus yang mengindeks di jurnal ilmiah menuai momok bagi akademikus. Bagi Deddy, ketetapan pemerintah itu justru berat sisi negatifnya. “Baik guru besar maupun non-guru besar,” tulisnya, “khususnya lektor kepala yang berniat menjadi guru besar.”
Penegasan Scopus sebagai standar wajib level publikasi tersebut dilatarbelakangi keinginan pemerintah dalam mengejar predikat Universitas Kelas Dunia. Angan-angan demikian dianggap Deddy cenderung bersifat ideologis karena menggunakan parameter objektif-kuantitatif. “Belum lagi syarat tertulis seperti dana besar belum terpenuhi universitas kita,” katanya.
Selain itu, sistem pemeringkatan versi Webometrics dan QS World University Ranking diakuinya juga terlalu etnosentrik serta menunggulkan keseragaman. “Padahal kan setiap universitas punya keunikan masing-masing,” tegasnya. Selain kritik konseptual, ia juga menilai penerbit jurnal internasional atau pengindeks terlalu kapitalistik.
Peneliti, menurut Deddy yang kini menjabat sebagai Dekan Fikom itu, acap ditodong ratusan dolar per artikel. Jumlah yang fantastis itu ia anggap absurd dan melampaui batas kewajaran.
Nada pesimis terpapang jelas dari buah pikiran profesor UNPAD itu. Tapi ia bukan tipe pengkritik tanpa secercah cahaya untuk penerangan. Di balik kritik Deddy yang menohok pengambil kebijakan pusat, terpampang implisit kepeduliannya untuk peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Semua itu ia uraiakan atas nama keadilan.
Deddy menginginkan agar Scopus tak dijadikan parameter utama. “Jika mau adil, setiap karya ilmiah dibobot berdasarkan peringkat jurnal yang memuatnya, termasuk jurnal nasional, bukan hanya jurnal internasional terindeks Scopus,” paparnya. Ia menekankan kualitas artikel ilmiah. Bukan semata-mata reputasi internasional. Prof. Deddy mengutip pendapat pakar hukum, Martin Davies, dari Melbourne University, Australia. Isi kutipan itu menyoal kontribusi buku teks yang lebih signifikan ketimbang artikel ilmiah.
Dalam ranah ilmu pengetahuan ilmiah, buku teks, menurut Martin, dianggap efektif karena masyarakat umum cenderung membaca bacaan populer. Pandangan popularitas buku teks itu diamini Barry Turner, profesor biomedis dan forensik, Lincoln University, Inggris. Ia mengkritik dunia akademik yang cenderung serampangan karena menganggap jurnal ilmiah lebih penting.
Pandangan ini senada dengan Deddy karena buku teks, betapapun, mengandung kadar ilmiah yang tak kalah berbobot. “Seyogianya dipertimbangkan sebagai bagian dari produktivitas,” tuturnya.
Alasan demikian dianggap Deddy lebih penting karena secara kuantitas masyarakat cenderung mengakses karya tulis, artikel, dan buku sebagai rujukan. “Bukankah suatu karya tulis, buku maupun artikel, menjadi bermakna jika dibaca?” tutupnya.
No Responses