Siap Hadapi Radikalisme dengan Pendidikan Karakter

 LAPORAN UTAMA

Pemantik diskusi mulai membawakan narasinya. Membawa mahasiswa yang duduk melingkar pada suatu sore maupun malam berkontemplasi dalam imajinya masing-masing. Sekilas, tak ada yang aneh dari diskusi tersebut jika dilihat dengan telanjang mata. Diskusi yang sedemikian rupa juga menjamur di UNY dalam beberapa kesempatan.

Tapi dibalik itu semua, diskusi tersebut ternyata diduga menyuarakan penegakan khalifah dan bersifat anti-Pancasila. Meminta para anggota mahasiswanya untuk mendobrak sistem negara Indonesia yang menurut mereka thaghut karena tidak menegakkan khilafah Islamiyah. Puncaknya, para aktivis yang tergabung dalam Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) menggelar Deklarasi Khilafah di Insitut Pertanian Bogor. Dengan premis bersumpah untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Video deklarasi tersebut kemudian viral di dunia maya dan telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

 Setidaknya, hal-hal tersebutlah yang dicemaskan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Prof. Mohammad Natsir, ketika mendeklarasikan Semangat Bela Negara di Semarang, Sabtu (06/05/2017). Deklarasi tersebut dilakukan bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Rektor Universitas seluruh Indonesia, termasuk UNY.

“Penyebaran paham radikal yang dapat memecah belah bangsa semakin gencar dan mulai masuk kedalam civitas akademika. Lewat organisasi dan kajian anti-pancasilais,” ungkap Natsir sembari meminta rektor masing-masing kampus bertindak tegas dan bertanggung jawab mencegah serta memberantas paham radikalisme di kalangan mahasiswa dan dosen.

Hal yang sama juga tercermin ketika Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Jend (Purn) Wiranto, menggelar konferensi pers bersama beberapa menteri serta Kapolri dan Panglima TNI. Kesempatan tersebut digunakan pemerintah untuk menyatakan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Karena organisasi tersebut dianggap terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Di UNY sendiri, kelompok Hizbut Tahrir Indonesia Chapter UNY telah eksis selama beberapa tahun. Dikutip dari Blog HTI Chapter UNY (htiuny.blogspot.com), organisasi tersebut setiap bulannya memiliki agenda rutin NGOPI (Ngobrol Pemikiran Islam) dan Majelis Tafkir. Walaupun demikian, Juru Bicara Dewan Pengurus Pusat (DPP) HTI Ismail Yusanto dalam konferensi persnya di Kantor DPP pada Selasa (09/05), menegaskan bahwa tuduhan HTI membahayakan keutuhan NKRI adalah mengada-ada dan tidak benar.

“HTI mempunyai hak konstitusional untuk melakukan dakwah yang amat diperlukan untuk perbaikan bangsa dan negara ini,” ungkap Ismail. Hingga tulisan ini diturunkan, baik HTI Chapter UNY maupun DPW HTI Yogyakarta yang berkantor di Kecamatan Kraton, belum memberikan tanggapan.

 

            Toleransi Butuh Pendidikan Karakter

Dari beragam tantangan radikalisme tersebutlah, M. Natsir menekankan bahwa dunia akademik harus siap berperan menjawab dinamika tantangan kontemporer. Permintaan atas kesiapan tersebut kemudian dicoba oleh Rektor UNY, Prof. Sutrisna Wibawa, dengan mengejewantahkan nawacita dalam visi misi UNY pada era kepemimpinannya.

“Pemerintah sedang menggalakkan pendidikan karakter di tengah masalah bangsa yang sedemikian rupa tersebut. Dan saya menyatakan, UNY siap berkontribusi nasional,” ungkap Sutrisna kepada Pewara Dinamika pada Kamis (04/05/2017) di ruang rektor.

Dalam Nawacita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebagai agenda prioritas, pendidikan memiliki peran penting dalam perwujudan revolusi karakter bangsa. Hal tersebut dicanangkan akan dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan. Dimana menurut Jokowi, peningkatan mutu tersebut berperan vital dalam peningkatan kemampuan generasi muda Indonesia. Agar menjadi lebih kompetitif dalam menghadapi persaingan global.

“Sehingga karena persaingan nanti semakin sulit, semakin sukar antar negara. Oleh karena itu, kita persiapkan (lewat pendidikan),” ungkap Jokowi dalam sambutannya di Lapangan Bola Gunung Tinggi, Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pada Minggu (07/05/2017), dalam rangka pembagian Kartu Indonesia Pintar.

Landasan agenda Nawacita tersebut menurut Sutrisna saling bertaut dengan visi Kemristekdikti dan UNY. Dimana Kemristekdikti menekankan terwujudnya pendidikan tinggi yang bermutu, serta kemampuan IPTEK dan inovasi untuk mendukung daya saing bangsa, dan visi UNY yang menekankan bahwa pada tahun 2025, UNY akan menjadi universitas kependidikan berkelas dunia berlandaskan ketakwaan, kemandirian, dan kecendekiaan.

Karakter yang kemudian diupayakan UNY untuk dipupuk lewat kurikulum pembelajaran di kelas maupun lingkungan kampus tersebut, diharapkan dapat mewujudkan insan yang selalu berada di jalan Allah SWT dan menjalankan toleransi. Sutrisna menekankan bahwa menjadi penting bagi warga UNY untuk secara konsisten menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing sembari bersedia menghormati praktik agama lain dan menjaga keutuhan NKRI.

“Sehingga ilmu yang sudah seharusnya dilandasi dengan taqwa, akan menjadikan langkah UNY senantiasa diridhoi oleh Allah. Semua warga UNY memiliki kebebasan akademik dengan kewajiban menjaga NKRI,” ungkapnya.

Sutrisna kemudian menekankan masalah sesungguhnya bangsa ini. Kemiskinan, ketimpangan ekonomi, sulitnya akses pendidikan bagi masyarakat, hingga konflik, dan radikalisme, semuanya terjadi bukan karena pemangku kebijakan maupun masyarakat kurang ilmu pengetahuan. Namun, masalah tersebut hanyalah puncak gunung es dari kondisi pendidikan Indonesia yang belum atau kurang didampingi dengan karakter taqwa dan selalu ingat kepada Allah.

Pemahaman toleransi juga dapat ditilik dari sikap keterbukaan. Dimana warga UNY sebagai civitas akademik selayaknya bersikap terbuka terhadap masukan dari pihak lain. Dan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak, setiap warga UNY selayaknya selalu dilandasi pada ketaqwaan dan kebenaran berbasis data-data serta fakta empiris berbasis ilmu pengetahuan. Bukan atas dasar subyektif rasa suka/tidak suka, maupun sekedar kepentingan individu dan golongan.

Hal tersebut menurut Sutrisna tetap harus dilakukan walaupun sekeras apapun masukan itu. Sehingga dari diskusi dan saling tukar pendapat, sikap sebagai cendekia muncul. Hal tersebut juga dapat berpengaruh pada berkembangnya pengetahuan para civitas akademika. Karena ditengah derasnya tantangan globalisasi, perdagangan bebas, hingga Masyarakat Ekonomi ASEAN, menurut Sutrisna bangsa Indonesia, terlebih lagi warga UNY, tak lagi bisa menutup diri dan harus memahami apapun aspirasi pemikiran dan ide sesamanya.

“Dan dari situ asas kolegialitas muncul. Baik dalam saya memimpin ataupun dalam kehidupan warga UNY. Sehingga kolega antar rekan di UNY dianggap sama sebagai partner. Dan semua wajib diikutsertakan untuk berkembang sejalan dengan pembangunan UNY,” pungkas Sutrisna.

 

 

No Responses

Comments are closed.