Siap Lanjutkan Sukses Seminar Internasional

 LAPORAN UTAMA

28 seminar internasional digelar UNY di tahun 2018. Walau belum ada jumlah pasti, UNY memproyeksikan akan kembali menghela setidaknya 20 seminar pada tahun ini.

Sukses bisa dimaknai berbeda oleh setiap orang. Namun bagi dunia pendidikan tinggi, ada asas tridharma yang telah menjadi konsensus untuk dilaksanakan. Penelitian sebagai salah satu prinsip dalam tridharma, menurut Prof Sutrisna Wibawa selaku Rektor UNY tak bisa tidak diejawantahkan lewat proses riset dan hilirisasinya.

“Artikel jurnal dan seminar internasional itulah penerjemahan dari penelitian. Hilir dari segala proses riset. Tidak bisa tidak,” ungkap Sutrisna tegas.

Proses penerjemahan tersebut telah UNY lakukan di tahun 2018. Tercatat pada tahun 2018, ada 28 seminar yang dihelat UNY. Pengembangan prestasi sekaligus terus mendorong peningkatan artikel civitas yang terindeks Scopus, menjadi asa di baliknya. Walau belum ada jumlah pasti, UNY memproyeksikan akan kembali menghela setidaknya 20 seminar pada tahun ini.

Semua seminar tersebut dilakukan dengan harapan, yang menurut Bsikin selaku Sekretaris Eksekutif UNY nyaris sama: sebagai upaya untuk bermanfaat bagi sesama. Karena dengan pemikiran yang dituliskan dalam jurnal internasional menurutnya, terlebih lagi yang terindeks Scopus, akan membuat pemikiran tersebut menjadi diskursus serta diskusi kelompok epistemik yang ekspertis di bidangnya.

“Sehingga dari situlah, apalagi Dikti juga mengejar Scopus, kita sebagai kelompok akademik tidak boleh alpa untuk ikut serta dalam proses pengembangan keilmuan ini. Kalau nggak ya, ketinggalan to kita,” ungkap Prof. Burhan Nurgiyantoro, Kepala Pusat Berkala Ilmiah UNY, mengamini pendapat kedua sosok diatas.

Kesuksesan 2017

Salah satu kesuksesan yang dicatatkan UNY dalam seminar-seminar internasional di tahun 2018, menurut Didik Purwantoro selaku Penanggung Jawab Seminar Internasional UNY adalah 400 artikel yang berhasil terindeks Scopus. Angka tersebut melejitkan artikel civitas UNY dalam indeks tersebut yang sebelumnya hanya mencatatkan 300 artikel, menjadi total 700 artikel.

Lebih jauh lagi, 400 artikel yang telah terindeks tersebut belumlah kalkulasi final. Karena masih terdapat seminar-seminar yang belum tuntas mempublikasikan prosiding.

“Penerbitan itu bisa proses satu bulan, bisa tahun depan saat atau setelah seri seminar selanjutnya. Yang mana prosiding terpublikasi, juga ada proses seleksi untuk terindeks Scopus. Intinya, jumlah artikel terindeks kita masih bisa bertambah,” ungkap Didik.

Dari kesuksesan tersebut, ada tiga hal yang menurut Didik dapat dipelajari UNY. Yang pertama, terkait dampak dari peningkatan indeks universitas di Scopus. Jika indeks UNY naik, maka akan semakin tinggi pula minat masyarakat baik domestik ataupun internasional untuk mengikuti seminar internasional yang digelar kampus ini.

Ketika seminar makin banyak diminati, maka dampaknya kualitas meningkat. Ada kompetisi untuk mengirimkan abstrak hingga publikasi. Sehingga kualitas artikel makin baik, kualitas seminar makin baik, dan UNY juga bisa belajar banyak dari sesi diskusi yang makin berbobot.

“Apabila seminar diadakan kemudian indeksnya cepet dan jelas maka pesertanya banyak, orang datang karena indeksnya baik, dan semakin banyak yang datang semakin baik pula kualitas seminar. Itu seperti snow ball effect,” tutur Didik.

Pelajaran kedua terkait seminar, adalah bidang keilmuan yang dipilih UNY sebagai tema seminar. Di luar negeri, kampus-kampus bisa menggelar seminar dengan bidang studi dan peminatan (minor) yang begitu spesifik. Misalnya, seminar teknik mesin dengan fokus peminatan pembakaran (combustion) dalam International Conference on Fluidized Bed Combustion yang kini telah menginjak seri ke 23.

Di UNY, tema spesifik seperti demikian disebut Didik tak begitu memungkinkan. Karena, pesertanya akan sangat sedikit. Hal ini terkait karena belum banyaknya pakar (scholar) dalam bidang dengan cakupan yang relatif kecil tersebut baik di Indonesia atau UNY sendiri.

“Bidang yang spesifik, konsekuensinya orang yang diundang dan berminat pastinya kecil. Di seminar internasional yang sudah terkenal pun, kalau bidangnya spesifik orang yang ketemu itu-itu saja. Makanya kita buat bidang yang luas, agar inklusif,” tutur Didik dengan mencontohkan digelarnya International Conference on Vocational Education of Mechanical and Automotive Technology (ICOVEMAT)

Dalam seminar ini, masyarakat rumpun keilmuan teknik bahkan vokasional hingga keilmuan teknik mesin dan otomotif dapat saling berbicara. Hasilnya, adalah kolaborasi serumpun namun multidisipliner yang ciamik.

Sedangkan pelajaran yang ketiga, adalah pentingnya membangun jejaring internasional. Steering commitee dan pembicara yang kapabel dan berasal dari luar negeri, jika memungkinkan dari beragam benua, seyogyanya ada guna mencerminkan seminar tersebut sesuai dengan tajuk internasional yang disematkan. Jejaring kemudian bermanfaat untuk mewujudkan hal tersebut berlangsung.

“Cara membangun jejaringnya, kita kerjasama. Kalau ada seminar internasional di kampus mereka, dosen kita ikut. Kalau kita membuat seminar internasional, dosen mereka ikut datang ke UNY. Sehingga resiprokal (saling berbalas)

Setidaknya 20 Seminar

Pengalaman-pengalaman tersebut diharapkan Didik akan diterapkan dalam seminar internasional yang setidak-tidaknya akan digelar UNY sebanyak dua puluh hajatan. Beberapa nama yang sudah solid dan dimungkinkan tergelar, diantaranya adalah ICTVT dan IJELINFO dengan basis bidang elektro, elektronika, informatika, dan mekatronika.

Masih di FT, diproyeksikan juga ada ICSI dengan rumpun keilmuan teknik sipil dan arsitektur, serta ICOHECI di bidang busana. Di FBS, akan ada seminar dengan rumpun linguistik, dan satu lagi di rumpun seni. Sedangkan di lembaga-lembaga lain dibawah naungan UNY, terdapat seminar internasional yang telah tergelar rutin dan established.

Layaknya International Conference on Teacher Education and Professional Development (InCoTEPD) yang digelar LPPMP, International Conference On Educational Research And Innovation (ICERI) oleh MIPA UNY, dan beberapa lainnya oleh LPPM dan Pascasarjana.

At least diatas 20, jumlah belum fix,” tutur Didik.

Terkait pendanaan, skema yang disediakan oleh Rektorat UNY menurut Prof. Margana selaku Wakil Rektor 1 diprioritaskan pada seminar milik fakultas dan program studi. Hal ini terkait sifat seminar tersebut yang masih dalam inkubator, alias baru-baru ini didorong oleh universitas. Dana dari rektorat setidaknya dapat dialokasikan pada 15 seminar internasional

“Sedangkan seminar yang sudah rutin dan established, sudah mapan dan setidaknya bisa tergelar tanpa insentif. Rektorat tetap mendukung betul, namun ada perlakuan dengan sedikit variasi,” ungkap Margana.

Dengan perencanaan tersebut, Margana berharap para dosen dapat turut terlibat menyukseskan seminar-seminar internasional yang digelar UNY dengan cara mengirimkan karya. Tugas tridharma yang diemban dosen sebagai civitas kampus, setidaknya dapat termudahkan dengan keberadaan seminar ini.

“Kalau tahun ini kami targetkan khusus 15 seminar internasional yang UNY gelar, kami mendanai dosen ikut menulis 100 karya dalam setiap seminar, itu berarti ada 1.500 artikel. Dorongan untuk meningkatkan kiprah sekaligus ranking UNY, juga jadi pemanasan dosen untuk makin rajin menulis prosiding dan selanjutnya artikel jurnal,” pungkas Margana.

No Responses

Comments are closed.