Kampus dan sekolah perlu mengajarkan Pancasila sebagai nilai-nilai yang seharusnya menjadi landasan menjalani kehidupan bersama sebagai bangsa yang majemuk. Bahan ajar tentang Pancasila, harus terus direaktualisasi dan diselaraskan dengan tantangan abad ke-21.
Dikisahkan dalam Sejarah Pendidikan (Djumhur, 1976), pendidikan di era abad ke-4 sebelum masehi berlangsung dengan damai dan konstan layaknya dirumuskan Aristoteles. Bercita-cita atas pendidikan negara, pendidikan dibayakannya sebagai proses pemberian contoh dan latihan agar mereka dapat diajarkan melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang baik. Pendidikan formal, kemudian berlangsung dengan berbagai jenjang hingga usia 21 tahun. Seorang guru, akan memimpin sejumlah siswa untuk memberikan contoh dan latihan atas perilku tersebut. Sedangkan para siswa mengamati lalu menirukannya guna melanggengkan peradaban kerajaan Yunani.
25 abad berlalu, nama jenjang maupun infrastuktur pendidikan antar era boleh jadi berbeda. Namun terlepas dari banyaknya gaung perubahan kurikulum, sistem pendidikan Indonesia kerap dijalankan serupa dengan apa yang dikontemplasikan dan dilaksanakan di Yunani Kuno ribuan tahun yang lalu: seorang guru berdiri di depan, memberi contoh dan latihan atas apa yang ia anggap baik, lalu meminta para siswa menirukan sama persis atas apa yang ia ajarkan. Baik dalam kertas ujian, agar anak tersebut lulus, maupun dalam kehidupannya kelak. Masih belum banyak proses refleksi atau internalisasi, lebih-lebih sikap kritis atau menggelorakan terobosan.
Suka tidak suka, hal ini menurut Prof. Sutrisna Wibawa harus diakui dan dijadikan catatan. Untuk melangkah lebih jauh, mata kuliah umum Pancasila yang memang masih lebih banyak dikuasai dosen, harus direorientasikan kembali agar bersifat student-centered. Ia juga tak boleh hanya sekedar menyatakan bagaimana Pancasila diimplementasikan sesuai butir-butir yang telah ditafsirkan secara politis. Tapi harus diinternalisasikan dengan refleksi bersama peserta kelas, untuk menghadapi tantangan global abad ke-21 yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Kedepan itu kan masalahnya luar biasa. Ada era disrupsi, pemanasan global, globalisasi, ini perlu pemahaman bersama. Itulah mengapa kita harus mengakui dan terus mengembangkan model pembelajaran alternatif agar terobosan pendidikan Pancasila ini terus berkembang,” ungkap Sutrisna sembari mengaskan bahwa 25 riset model pembelajaran Pancasila yang dikawal Bidang I UNY bersama dengan Pusat Studi Konstitusi dan Pancasila (PSKP) UNY, menjadi langkah awal pelaksanaan terobosan tersebut. Guna menghadirkan pendidikan sekaligus internalisasi nilai-nilai Pancasila, yang dapat menjawab tantangan zaman.
Tidak Sekedar Mapel atau Matkul Wajib
Nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan di sekolah, dalam pandangan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi pada sela-sela peringatan hari lahirnya Pancasila di Jakarta, Kamis (01/06/2018), sekedar diajarkan hanya sebagai dasar administrasi kenegaraan. Menurut dia, pada 2003 di UU Sistem Pendidikan Nasional, mata Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang diubah hanya menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), masih jauh dari ideal untuk menghadirkan internalisasi nilai-nilai yang seharusnya jadi landasan hidup bersama bagi yang majemuk.
Unifah memandang tidak ada ruang yang memadai untuk mendalami nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan di sekolah. Akibatnya, tidak ada pendekatan yang dikonsepkan untuk mendialogkan tentang nilai dan tata cara hidup bersama. Menurut Unifah pula, kecenderungan menguatnya radikalisme dan intoleransi yang juga mulai merembet di lingkungan pendidikan harus menjadi perhatian serius. Dunia pendidikan harus menjadi tempat yang inklusif, yang menerima dan menghargai keberagaman.
“Penerimaan pada keberagaman di lingkungan sekolah bukan terbatas pada suku, agama, ras, dan antargolongan. Keberagaman lain yang juga harus dipahami adalah soal jender dan disabilitas,” ujarnya.
Menurut Unifah, penguatan dan reaktualisasi kembali nilai-nilai Pancasila dalam pembelajaran di sekolah perlu dilakukan. Bukan sebatas pengetahuan, melainkan untuk dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sudah saatnya siswa mendapat pelatihan tentang kecintaan pada keberagaman dan kebangsaan. Juga harus terbiasa bekerja sama dan berkolaborasi, berpikiran kritis terhadap perbedaan, yang merupakan bagian dari kecakapan abad ke-21. Guna mewujudkan kemampuan tersebut, nilai-nilai Pancasila harus terselip di semua mata pelajaran ataupun mata kuliah. Disamping, Ketua PGRI Sugito juga menambahkan bahwa setiap pendidik harus dapat menjadi teladan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Dalam pandangan Rektor UNY Prof. Sutrisna Wibawa, hal yang sama juga harus berlangsung dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila yang menjadi salah satu mata kuliah wajib umum. Sejalan dengan Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Terlebih, semangat yang dibawa pembelajaran ini telah berbeda dengan pengembangan Pancasila berbasis konsep Eka Prasetya Panca Karsa yang menjadi materi penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
“Agar tujuan pelestarian nilai-nilai Pancasila dapat lebih terarah, pemantapan ini harus dilakukan dengan membuka ruang dialogis. Jangan sampai Pancasila hanya dipandang di awang-awang, menjadi sebatas ideologi, sebatas ide atau gagasan. Nilai-nilai Pancasila harus diimplementasikan menjadi bagian dari gaya hidup. UNY berkomitmen untuk itu,” ujar Sutrisna.
Riset Model Pembelajaran Terobosan
Lima sila yang menjadi dasar negara memiliki spirit kebangsaan yang mampu menggugah rasa persatuan, menurut Sutrisna dapat digelorakan lewat Pancasila. Nilai tersebut misalnya, terwujud dalam sila ketiga: Persatuan Indonesia. Dengan Pancasila, keberagaman tidak dipandang sebagai sebuah kendala atau masalah, tetapi menjadi potensi untuk bisa saling menolong ataupun saling bertukar kelebihan. Tantangan lainnya, mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera sesuai amanat sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Untuk itu, pembelajaran Pancasila harus efektif dan student-centered sehingga mendorong internalisasi nilai.
“Inilah yang hendak diinisiasi UNY. Sehingga tidak hanya belajar teori, tapi mahasiswa dapat membumikan Pancasila dalam dirinya sekaligus bisa mengajak mahasiswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang menjadi bagian dari pengawalan nilai-nilai Pancasila,” ungkap Sutrisna
Model pembelajaran tersebut, akan digodog dalam-dalam melalui 25 Judul Riset tentang Pancasila yang diagendakan UNY tahun Ini. Rencananya, penelitian tersebut dilakukan lewat sekolah mulai TK, SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing satuan pendidikan dua judul dengan total 10 judul. Jumlah penelitian itu akan ditambah melalui Prodi Pendidikan Pancasila MKU maupun dalam implementasi Pancasila dalam keseharian di UNY yang ditargetkan 15 judul. Sehingga, total akan ada 25 judul riset tentang Pancasila sepanjang 2018.
Lokakarya impelementasi nilai-nilai Pancasila dalam lingkup pendidikan yang digelar UNY pada Selasa, 20 Maret 2018, menjadi merkusuar yang membuka jalan sekaligus memandu perencanaan riset tersebut. Diisi dengan kuliah umum dari Yudi Latief Ph.D, Kepala BPIP yang kini juga aktif sebagai dosen UNY, lokakarya diharapkan bisa memberikan wawasan umum serta menyinergikan perumusan pendidikan Pancasila yang dilakukan universitas dengan badan tersebut.
Pengangkatan Yudi Latief sebagai dosen tidak tetap PKnH dengan SK Rektor pada awal tahun ini, juga dipandng Sutrisna menjadi tambahan bahan bakar bagi UNY. Guna melaju lebih cepat dan mendalami secara lebih komprehensif, pada program-program maupun pendalaman Pancasila yang sedang digalakkan UNY. Hal ini, juga sejalan dengan upaya universitas untuk terus meningkatkan produktivitas karya dan publikasi lembaga demi meningkatnya peringkat universitas sekaligus kontribusi kehadiran UNY bagi pengembangan dan produksi ilmu pengetahuan untuk masyarakat.
“Targetnya kembali lagi, pada keluaran model-model pembelajaran sebagai hasil dari penleitian itu. Bapak Yudi Latif mempunyai modal bagaimana model-model pembelajaran yang kita kembangkan. Dengan berbagai banyak alternatif akan menjadi lebih baik, menyenangkan dan tidak membosankan di tiap karakteristik satuan pendidikan. Serta sesuai dengan minat, situasi, kondisi di tiap satuan pendidikan,” ujar Sutrisna.
Selain itu, diharapkan pula dari loyakarya bisa tercipta desain pendidikan Pancasila, dengan model-model pembelajaran yang sifatnya terobosan dan lebih student-centered. Sekolah-sekolah mitra UNY yang tersebar di lingkungan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, diungkapkan oleh Sutrisna biasa menjadi yang pertama menerima sumbangan model pembelajaran tersebut. Praktik yang telah mereka lakukan kemudian dapat menjadi refleksi bagi BPIP, jika kelak ingin mendiseminasikannya lebih jauh ke seluruh Indonesia lewat pelembagaan kurikulum.
“Metodologi risetnya adalah RNP: RIset dan Pengembangan. Karena riset ini tidak sekali jadi maupun statis, namun kita kehendaki untuk terus bertransformasi dan didalami sesuai dengan konteks variasi spasial dan temporal yang ada,” pungkas Sutrisna.
No Responses