Ditempatkan setahun di SDN Hanowai Belu, tak hanya memberi Isti dan segenap
peserta SM-3T pengalaman mendidik. Mereka juga terdidik lewat tauladan dari
kehidupan warga kampung: atas cinta kepada ilmu pengetahuan, serta menjalani keberagaman suku dan agama.
siti tumbuh besar menggemari kedisiplinan dengan rasa cinta tinggi kepada tanah airnya. Rasa cinta yang tak hanya membuatnya bangga menjadi Indonesia, tapi juga meyakinkan hatinya untuk mendaftar kala lowongan Pendidikan Profesi Guru (PPG) SM-3T dibuka pada 2016 lalu. Program tersebut kemudian menugaskannya untuk mengabdi dan memberi pengajaran di SDN Hanowai, yang terletak di Kabupaten Belu.
Kabupaten tersebut memang berstatus terluar. Seiring dengan lokasi geografisnya yang berhadapan langsung dengan Timor Leste, lengkap dengan minimnya fasilitas infrastuktur
bahkan untuk sekedar listrik, air bersih, dan sinyal telekomunikasi. Tapi di Desa Hanowai, tempat sekolah tersebut berada, Isti benarbenar merasakan Indonesia. Lewat kebhinekaan, keramahtamahan, dan jiwa gotong royong.
Sebagai muslim dan orang Jawa, Isti disambut hangat dan diberi ruang untuk melaksanakan ibadah kesehariannya. Baginya, sambutan tersebut begitu spesial karena semua warga kampung adalah penganut Katolik.
Tak hanya berhenti pada sambutan hangat, para pendidik SM-3T juga dikagumi dan diberi kambing serta ayam khusus untuk mereka sembelih sendiri di kala ada kenduri warga kampung. Tujuannya, agar mereka sebagai muslim bisa turut bergembira dengan melahap bahan pangan yang halal. Sembari sekali dua kali, Isti juga membagikan masakan buatannya tersebut kepada warga.
“Warga justru sangat suka masakan kita dari Jawa. Dan memberi ruang luar biasa, sehingga kami di sana tidak hanya mendidik. Tapi juga dididik oleh keramahtamahan dan kehidupan kampung dan semangat mereka untuk belajar,” kenang Isti, yang menyatakan ia memperoleh banyak pelajaran tak ternilai dari penugasan tersebut.
Terbiasa Mengajar
Pada saat lowongan PPG SM3T diikuti Isti pada 2016, perempuan kelahiran Kebumen 14 November 1994 tersebut baru saja lulus dari Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) UNY. Studi tersebut diikutinya sejak tahun 2012, atas dorongan dari ibunya yang juga berprofesi sebagai guru sekolah dasar.
“Awalnya saya kepingin daftar jadi tentara, tapi ibu memang kepingin begitu. Walaupun mulanya setengah hati, kok lama-lama asyik juga mengenal anak. Jadi suka. Sejak saat itu saya terbiasa mengajar,” kenang Isti.
Dari kebiasaannya mengajar tersebut, Isti sudah sempat mengajar selama dua bulan pada sebuah SD yang berada di sekitar Yogyakarta. Adanya program SM-3T yang diketahuinya dari beberapa kawan, membuatnya tertarik untuk mencari ilmu lebih lanjut. Daftar dengan cara coba-coba, kemudian menjadi pilihannya.
Karena sifatnya yang coba-coba, Isti terkejut kala mendapati dirinya menjadi satu dari 3.000 pendaftar yang diterima mengikuti PPG SM3T. Program tersebut seingatnya cukup kompetitif, dan banyak temannya yang tidak diterima.
Selain terkejut, Isti juga mulanya belum memberitahu orang tua. Dan juga, belum tahu tentang Kabupaten Belu yang menjadi daerah penugasannya karena penempatan diberikan secara acak oleh sistem.
Barulah selepas pemberitahuan tersebut, Isti terlebih dahulu berselancar di mesin pencarian daring untuk mengetahui lebih jauh tentang Belu dan Desa Hanowai sebagai lokasi dari SD Negeri tempatnya mengabdi kelak. Dari situlah ia ketahui, bahwa desa
tersebut berada di Pulau Timor dan beragama Katolik. Kontras dengan kesehariannya di Jogja yang dekat dengan orang tua dan hidup dalam lingkungan Muslim
“Saat saya mendaftar, Ibu sudah tidak ada. Saya hanya bilang ke Bapak, bahwa keterima di Belu. Pertanyaannya sama: Belu itu dimana, gak tahu juga. Tapi beliau merestui dan berpesan semangat serta hati-hati,” ungkap Isti.
Dengan restu orang tua serta kebiasaannya mengajar, Isti yakin bahwa mengajar di Belu takkan jadi masalah berarti untuknya. Hal tersebut kemudian dilengkapi dengan Prakondisi SM-3T, yang digelar UNY bekerjasama dengan Akademi Angkatan Udara (AAU).
Pelatihan dilakukan dengan sistem semi militer. Selama dua minggu di bulan Agustus, Isti
mendapatkan materi sosialisasi kurikulum 2013, manajemen sekolah, pembelajaran pada kondisi khusus, posdaya, kepramukaan, P3K, UKS, survival, kedisiplinan, pendekatan sosial kemasyarakatan, wawasan kebangsaan, bela negara, dan sebagainya.
“Pertama kali saya makan dihitung waktunya, tinggal di mess, ada hukuman push up.
Macam-macam materi pula, tapi benar-benar bermanfaat saat kita diterjunkan di daerah. Survival benar-benar dibutuhkan,” kenang Isti.
Terjun ke Belu
Bulan September, Isti bersama 54 temannya berangkat bersama menuju ke Belu. Di sinilah petualangan mendidik dimulai. Selepas terbang dariYogyakarta hingga ke Atambua dengan transit di Kupang, rombongan SM3T disambut oleh Wakil Bupati. Saat penyambutan inilah, jika sebelumnya Isti mengetahui Belu hanya dari internet, saat ini ia memperoleh cerita langsung tentang bagaimana suasana dan kehidupan di Hanowai.
Dalam kesempatan tersebut, mulanya sang wakil bupati pada saat itu langsung bertanya kepada peserta SM3T tentang siapa yang akan ditempatkan di Hanowai. Harapan beliau, yang ditempatkan di Hanowai adalah laki-laki, karena situasi medan desa tersebut yang
cukup ekstrim sehingga kasihan bila harus dijalani perempuan.
“Bapak Ose Luan (Wakil Bupati) sendiri itu yang bilang. Beliau tidak bisa membayangkan kalau cewek, kasihan. Disitulah beliau cerita, Hanowai tidak ada sinyal, listrik, air,” tutur Isti sembari terkekeh.
Walau demikian, Keakraban serta keramahtamahan warga Hanowai yang memiliki jiwa kebhinekaan dan gotong royong begitu kuat membuat kesulitan tersebut tak jadi halangan bagi Isti untuk mengabdi. Dibantu warga desa, ketiadaan tiga benda tersebut tidaklah membuat Isti kehabisan akal.
Untuk mencuci dan mandi misalnya, Isti berani menembushutan dan turun ke sungai yang letaknya sekitar beberapa kilometer dari sekolah dan mes tempatnya tinggal, untuk mandi dan mencuci. Dalam jarak dan medan ekstrim tersebut, Isti mau tidak mau harus menggotong pakaian yang perlu dicucinya.
Untuk sinyal, ada strategi yang sudah lama dilakukan warga Hanowai. Mereka menggunakan sepatu untuk penangkap sinyal. Caranya, HP diletakkan di ujung
sepatu. Untuk melakukan taktik ini, sepatu harus berada di ruang terbuka seperti teras. Semua informasi tersebut didapatkan Isti karena warga begitu ramah.
“Sampai sekarang naruh HP di sepatu itu misteri buat saya. Gimana ceritanya HP bisa nyala, tapi yang penting nyala. Bisa internet dan telepon. Saya ngikut saja strategi yang sudah lama dilakukan warga,” kenang Isti.
Selain tak habis akal dalam mencari sinyal, Isti juga selalu memutar otak untuk memberikanyang terbaik bagi siswa SDN Hanowai. Dari pengalamannya mengajar, sekolah ini memiliki jumlah guru yang tak memadai dalam kesehariannya. Alasannya bukan karena kekurangan guru, namun karena para guru tersebut kerap tidak ada
di sekolah. Padahal, para siswa relatif rajin bersekolah dan patuh jika diajak ataupun
diminta untuk belajar.
Akibatnya, murid SD tersebut secara kemampuan akademik kurang. Banyak anak kelas
empat misalnya, yang belum lancar membaca. Sedangkan untuk anak kelas enam, mereka masih kesulitan melakukan penjumlahan dan pengurangan sederhana.
“Jadi solusi yang kami lakukan adalah mengajar gantian semua kelas. Di SDN Hanowai peserta SM3T hanya dua orang. Dua orang, mengajar enam kelas. Kita gantian keluar masuk kelas, ngajar lalu kasih tugas. Intensif,” ungkap Isti dengan miris.
Selain bolak-balik kelas, Isti juga menggelar kelas sore untuk siswa kelas 6 SD yang membutuhkan tambah materi. Caranya, siswa dikelompokkan berdasarkan daya
tangkap dan kemampuannya. Materi untuk Ujian Nasional kemudian diulangi lagi dari
awal, agar mereka paham dan bisa mengerjakan. Termasuk, menyediakan bahan bacaan lewat program sumbangan 1000 buku untuk Belu yang dihimpun peserta SM3T secara online.
“Akhirnya nilai lebih baik. Menurut kita sangat bagus. Dapat lima, enam, tujuh, padahal waktu belum ada kita mereka tidak bisa penjumlahan pengurangan. Semua karena mereka pada dasarnya rajin dan manut,” tutur Isti.
Pekerjaan baik Isti tersebut menjadi perbincangan warga kampung. Selain tentang kisahnya mendidik, Isti juga lumayan populer karena ia pandai memasak. Hal tersebut karena selama ini, masyarakat setempat hanya memiliki dua makanan: ubi dan babi. Cara memasaknya pun hanya dengan dua cara: direbus atau dibakar.
“Nah bersama teman, saya membuat gethuk. Asalnya sama dari telo, tapi warga sangat suka. Ibu disana baik sekali, kita dikasih ubi lezat, begitu kata mereka,” kenang Isti bangga.
Agustus 2017, tugas Isti di Belu selesai. Genap setahun dijalaninya di Belu tanpa bisa pulang saat lebaran dan tahun baru. Namun bagi Isti, liburan dan hari raya tersebut tetap dirayakannya bersama warga dan sesama peserta SM3T yang sudah seperti keluarganya sendiri.
Kedepan, ia berharap program SM3T hingga PPG yang menyertai di tahun berikutnya, bisa makin baik. Peserta dua program tersebut menurut Isti relatif banyak di UNY, sehingga dampaknya ruang kelas maupun jadwal dosen menjadi begitu padat.
“Semoga kedepan terkait kuota bisa diatur. Saat ini jumlah dosen, jadwal, dan ruangan terbatas, tapi peminat dan penugasan SM3T ataupun PPG secara keseluruhan memang sangat banyak. Jadinya crowded dan beberapa jadwal tabrakan. Semoga bisa dicari solusinya, sehingga pengabdian dan studi bisa optimal untuk mengembangkan kapasitas
keguruan kita,” pungkas Isti.
No Responses