Filsafat olahraga dan piweling Jawa melekat erat dalam kepribadian Profesor
Sumaryanto. Menjalankan model kepemimpinan taktis dan penuh eling lan waspada.
Guru besar bidang Filsafat Olahraga ini ternyata mengidolakan tokoh pewayangan. Bukan saja sosok, melainkan juga kolektor. Meski tak banyak, koleksi wayang miliknya punya kenangan tersendiri. Bahkan guru sekolah dasarnya pernah memberikan hadiah wayang. Figur wayang Werkudara. “Saya tahun-tahun awal jadi dekan ada hadiah itu,” kenang Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes., AIFO.
Awalnya ia penasaran. Mengapa dirinya diberikan wayang Werkudara. Setelah membaca beberapa literatur, menangkap nilai di balik sang tokoh, Sumaryanto percaya separuh karakter Werkudara dimilikinya. Wayang pemberian guru SD memang bukan kali pertama. Saat Sumaryanto menikah pada 24 Juni 1992, seorang teman mengadonya wayang. Wayang kulit. Pakai kulit kambing.
“Awalnya saya simpan saja. Setelah dekan, kira-kira tiga belas tahun kemudian, orang lain kasih itu. Terus beda orang kasih lagi. Tapi tetap wayang yang karakternya
Werkudara, Bratasena, atau Wejasena,” ujarnya.
Selain Werkudara, Sumaryanto juga mengidolakan tokoh Semar. Kedua tokoh tersebut, menurut pendapatnya, sama-sama mempunyai perangai pamong (pengasuh, pendidik, pengurus). Dalam istilah pewayangan, Werkudara cenderung disebut sebagai senapati. Sebuah jabatan pangilma atau bisa bermakna pemimpin.
Dua tokoh wayang ini diperlakukan istimewa. Di rumah Sumaryanto, Werkudara dan Semar disimpan khusus. Dimasukan ke dalam kurungan burung perkutut. “Werkudara menghadap timur Semar menghadap barat,” tuturnya seraya memberikan ilustrasi
Kejelian Sumaryanto dalam mengejawantahkan nilai-nilai Jawa tampak pula dalam kesungguhan meneladani konsep Ki Hadjar Dewantara. Salah satunya perihal harmoni dalam menjalankan kepemimpinan: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
“Kalau tidak terpaksa saya pasti tidak di depan. Apalagi saya kalau main bola, saya ini pemain belakang. Jadi karakter pemain belakang kalau di bola itu bertahan. Kalau tidak terpaksa saya jarang mau di tengah. Apalagi di depan,” jelasnya. Kepercayaan yang diberikan UNY akan dijalankan Sumaryanto sebaik mungkin. Baginya, amanahadalah tanggung jawab besar. Mesti dikerjakan secara gotong-royong
Sumaryanto berpedoman pada jargon “tenar lembagaku, sejahtera wargaku”. Ia berprinsip kalau ketenaran telah diraih maka kesejahteraan niscaya mengikuti.
“Jeneng dulu lagi jenang. Predikat dulu baru berkat. Kalau kita tenar insyaAllah nanti sejahtera. Jadi, jangan membuat sejahtera tapi tenar dulu. Sebab sejahtera itu akibat. Kalau kita punya jeneng yang hebat, jenangnya akan mengikuti,” tandasnya.
Ketenaran ini tentu saja berpaut erat dengan tekad UNY menuju universitas berkelas dunia. Sumaryanto mengambil analogi dalam jagat keolahragaan. Tak ada
atlet dunia tanpa melewati tingkatan nasional. “Paling tidak tiga besar. Kalau sudah atlet nasional sangatberpotensi mewakili negara,” ucapnya.
Universitas berkelas dunia semestinya melewati anak tangga. Jenjang ini wajib ditempuh agar sampai ke tujuan. Sebelum predikat world class university, perguruan tinggi perlu berada di papan atas nasional. Kini UNY masuk klaster pertama. Sumaryanto menegaskan
bahwa sudah sepantasnya UNY lanjut ke level internasional. “Kalau klaster yang masih di bawah, tanding sesama nasional dulu. UNY ek-IKIP nomor satu sehingga wajar kalau kita ‘atlet nasional’ nomor satu.
Khususnya kependidikan, “ujarnya. Waktu dekat ini Rektor UNY telah mempersiapkan program jangka pendek. Antara lain menguatkan konsolidasi di internal kampus. Di samping penguatan kelembagaan, Sumaryanto sudah menyusun sejumlah langkah strategis. Tidak berarti program pemimpin dahulu dibiarkan. Sumaryanto akan merawat program unggulan dan berupaya meningkatkannya. “Jangka panjangnya harus lebih meningkat dari yang sudah dirintis oleh pendahulu-pendahulu.”
Memperkuat internal civitas akademika akan dijalankan Sumaryanto sesuai pepatah Jawa
saiyeg saeka praya, saiyeg saeka kapti (tekad gotong-royong dengan kemuliaan hati). Namun, semua itu dimungkinkan manakala warga UNY sudah manjing ajur ajer (menyatu
dengan lingkungan kelembagaan). “Secara proporsional, profesional, ayo disatukan. UNY milik bersama,” pungkasnya.
No Responses