Melawan 140 choir dari 16 negara, UNY keluar sebagai jawara Paduan Suara Mahasiswa tingkat dunia. Pulau magis seribu dunia menjadi saksi suara magis para punggawa Swara Wardhana
Bersenandung untuk kibarkan nama UNY dan Indonesia di kancah dunia, sudah tak jarang dilakukan Tim Paduan Suara Mahasiswa ‘Swara Wadhana’ Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Mereka akhirnya kembali menorehkan prestasi tingkat Internasional dengan berhasil meraih dua medali emas dari sebuah kompetisi Internasional BICF di Bali. BICF7 ini diikuti lebih dari 140 choir dari 16 negara.
Diungkapkan oleh Wakil Rektor III Prof. Sumaryanto pada Minggu (5/8/2018), paduan suara “Swara Wadhana” UNY yang dilatih oleh Lukas Gunawan Arga Rakasiwi berhasil meraih satu medali emas pada kategori Mixed Choir, dan satu medali emas pada kategori Folkore atau lagu rakyat pada kompetisi 7th Bali International Choir Festival (BICF). Kedua kategori tersebut berada pada babak Championship.
Sang wakil rektor III, Sumaryanto, serta staf ahli bidang seni, Cipto Budy Handoyo, beserta jajarannya juga turut hadir menyaksikan kompetisi BICF7 di Bali. Di mana tim PSM “Swara Wadhana” UNY ini terdiri dari tiga puluh tiga penyanyi, satu conductor, enam crew, dan satu pembina.
“Kami tak pernah berhenti berbangga pada para mahasiswa kami. Suara merdunya (PSM Swarawardhana) berhasil torehkan gelar jawara dunia,” pungkasnya.
Dipetik karena Kegigihan
Prestasi itu dipetik bukannya dengan mudah. Mereka membawakan lagu-lagu dengan variasi nada rendah dan tinggi, yang tentunya memerlukan usaha tak kalah tinggi pula. Untuk meraih atensi para juri, termasuk setiap hadirin.
Lagu-lagu yang dibawakan oleh tim PSM “Swara Wadhana” UNY dalam kategori Mixed Choir yaitu Canticum Novum aransemen Ivo Antogini, Izar Ederrak aransemen Josu Elberdin, dan Hentakan Jiwa aransemen Ken Steven.
Sedangkan untuk kategori folklore, PSM UNY membawakan tiga lagu yaitu, Paris Barantai aransemen Ken Steven, Jaranan aransemen Arga Rakasiwi, dan Ma Rencong Rencong aransemen Budi Susanto Yohanes. Diungkapkan oleh Dr Widiastuti Purbani, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (2015-2018), lagu-lagu ini membuat kilas balik atas tepuk tangan yang menggema seantero Chamber Musik di salah satu sudut kota di Negeri Pizza, ketika enam mahasiswa UNY yang menjadi wakil Indonesia berhasil melantunkan musik klasik dengan indahnya pada Agustus 2017 lalu. Menyabet pula gelar internasional ke pangkuan UNY.
Namun perjuangan bukan hanya berlangsung di pulau seberang saja. Di Yogyakarta, mereka secara rutin berlatih bahkan sejak pertama kali bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa tersebut. Semua perjuangan tersebut berlangsung hingga Minggu (22/7), PSM Swara Wadhana UNY bertolak menuju Pulau Dewata untuk megikuti perlombaan paduan suara tingkat internasional. Keberangkatan PSM “SW”UNY ini dilepas oleh Rektor UNY Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd dan WR III Prof. Dr. Sumaryanto, M. Kes.
Pada kesempatan kali ini, PSM “Swara Wadhana” Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bergerak di bidang seni suara merasa sangat bersyukur, untuk kali ketiga mendapat kesempatan mengikuti salah satu perlombaan paduan suara bergengsi di tingkat Internasional,yakni Bali International Choir Festival (BICF).
Bali International Choir Festival (BICF) merupakan salah satu kompetisi paduan suara internasional yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya di Bali. Pada tahun ini BICF diadakan untuk ketujuh kalinya, dengan bertajuk 7th Bali International Choir Festival. Kompetisi ini menjadi salah satu ajang bergengsi bagi banyak paduan suara untuk meningkatkan skill, prestasi, dan eksistensinya.
Demikian pula dengan PSM “Swara Wadhana”, sebagai sebuah kelompok paduan suara, tentunya memiliki keinginan untuk meningkatkan kemampuan, prestasi, dan eksistensi di dunia paduan suara. Ajang ini menjadi tolok ukur kemampuan PSM “Swara Wadhana” untuk melihat sampai di mana kemampuan yang dimilliki. Dengan demikian, PSM “Swara Wadhana” dapat lebih berkembang dan meningkat kemampuannya.
Pada perlombaan kali ini, PSM “Swara Wadhana” mengirimkan satu kontingen yang nantinya akan mengikuti dua kategori perlombaan yakni Mixed Choir dan Folkore dalam 7th Bali International Choir Festival. Satu kontingen yang akan berangkat terdiri dari 33 orang penyanyi, 6 official, 2 dosen pendamping, dan 1 pelatih sekaligus conductor sehingga total seluruhnya berjumlah 42 orang. 7th Bali International Choir Festival akan diselenggarakan di Prime Plaza Hotel and Suites Sanur Bali pada 24-28 Juli 2018.
Perlu Apresiasi Prestasi Serupa
Tepuk tangan memang boleh jadi menggema dalam prestasi-prestasi itu. Tapi kerap, masih ada yang meremehkan. Prestasi bahasa dan seni, diungkapkan oleh Widiastuti, masih dipandang sebelah mata dan kalah pamor dibanding prestasi di bidang sains dan ilmu pasti. Ditengah seni dan bahasa yang dianggap kurang penting karena pujian selalu mengalir pada kemampuan intelektualitas, ia mengibaratkan hal tersebut layaknya lomba robot maupun mobil listrik yang diikuti UNY. Mereka semua juara dan berprestasi di bidangnya masing-masing, layaknya apa yang dilakukan mereka yang memilih mengabdikan diri di bidang bahasa dan seni.
Namun, tanggapan media dan masyarakat berbeda. Lomba robot dan mobil listrik bisa begitu saja menuai sorotan dan apresiasi. Sedangkan seni dan bahasa, kerap dibiarkan mengabdi dalam diam.
“Bukannya kita haus apresiasi, tapi ini penting untuk catatan kita. Kita itu kerap dianggap tidak keren dan diacuhkan oleh masyarakat. Misalnya, ada anak FBS yang mengkaji etnografi nilai filosofis cerita rakyat di Bejiharjo Gunungkidul dan juara di Pimnas. Tapi tetep dianggap kalah pamor dibanding lomba robot kan?,” ungkap Widiastuti.
Minimnya apresiasi atas prestasi di bidang seni dan bahasa tersebut, menimbulkan konsekuensi logis yang apabila dibiarkan dapat menghambat civitas untuk berprestasi. Widiastuti memandang bahwa di satu sisi, mahasiswa akhirnya menganggap bahwa prestasi bukan menjadi prioritas utama. Mereka lebih menganggap fokus akademik dan menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang) seakan sudah cukup.
“Toh dosen juga masih ada sebagian yang tidak aktif mendorong, sehingga klop dengan masyarakat yang masih kurang mengapresiasi pencapaian seni dan sastra. Yang ditekankan biasanya sekedar lulus cepat dan syukur-syukur cumlaude,” ungkap Widiastuti.
Selain itu, minimnya semangat dan apresiasi membuat FBS sebagai institusi harus bekerja lebih ekstra untuk mendorong terciptanya budaya prestasi. Masih jarang menurut Widiastuti, civitas FBS yang secara sukarela dan inisiatif sendiri mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Nasihat beberapa dosen yang mendukung kegiatan prestatif, bahkan dianggap sekedar angin lalu saja karena dipandang sebagai upaya pencitraan semata.
“Kalau dosen seperti kita yang ngomong, yang punya kepentingan dan punya institusi, dianggap itu ya sekedar untuk kepentingan kita. Nasihat dan dorongan kita untuk budaya prestatif belum dipandang anak-anak sebagai dorongan yang tulus demi kebaikan sendiri,” ungkap Widiastuti.
Untuk menyikapi hal tersebut, FBS senantiasa menekankan pembinaan yang berjenjang pada prestasi mahasiswa agar prestasi berlangsung secara kontinu. Merujuk pada kelompok musik UNY yang sudah empat tahun berturut menjuarai Concorso Musicale Europeo yang dihelat di Italia misal, senior-senior yang telah meraih prestasi pada umumnya menginspirasi dan memacu adik tingkatnya untuk meneruskan prestasinya. Selain itu, mereka juga menjalin hubungan berbasis peer-learning sehingga ilmu yang dimiliki para senior biasanya ditularkan pada mereka yang lebih muda.
Mengundang tokoh-tokoh inspiratif maupun yang kompeten dibidangnya, juga senantiasa dilakukan UNY guna mendorong prestasi. Di bidang PKM misal, FBS UNY beberapa kali mendatangkan juri nasional dari lintas bidang untuk memberikan insight serta penekanan atas pentingnya budaya prestasi.
“Dengan demikian, mereka tahu bahwa prestasi seni dan bahasa juga ditunggu-tunggu dan yang menasihati lagi-lagi bukan kita saja. Tapi juga orang-orang yang sebenarnya walau terkesan dalam diam, tetap menunggu karya nyata kita,” pungkas Widiastuti.
No Responses