Civitas UNY saling bermaaf-maafan di tengah teduhnya suasana Idul Fitri. Kehadiran Cak Nun dalam agenda Syawalan menyiarkan peringatan: agar semua pihak kembali ke fitrah, dan kembali bekerja keras untuk melaksanakan tugas besar tridharma pendidikan tinggi.
Manusia adalah makhluk berakal dan suka hitung-hitungan untuk melakukan sesuatu. Menunjuk jajaran kursi daerah timur, tempat ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan (DWP) UNY duduk untuk menyaksikan ceramahnya, Emha Ainun Najib berseloroh bahwa perempuan bisa sangat kejam dalam bernegosiasi harga ataupun mengatur rancangan keuangan.
Namun dalam ceramahnya kala diundang dalam Syawalan Keluarga Besar UNY di Auditorium pada Senin (10/06), budayawan yang kerap disapa Cak Nun tersebut mengingatkan para hadirin agar dapat menempatkan diri. Tahu dimana melakukan transaksi rasional, dan dimana selayaknya tidak.
Memperoleh ridha Allah di dunia dan akhirat, lewat ibadah dan menjalankan perintah Allah, adalah salah satu yang paling pantang untuk dikalkulasi secara rasional. Transaksi kepada Allah harus dilandasi dengan cinta. Karena sebagai makhluk ciptaanNya, segala perbuatan kita tak hanya terjadi sebagai kehendak Allah, tapi juga kesempatan untuk menunjukkan rasa cinta kepadaNya lewat syukur dan ikhtiar.
“Ada klausul (syarat) untuk mendapatkan ridha Allah di dunia maupun akhirat, yang harus dilakukan bukanlah transaksi rasional, melainkan transaksi cinta. Cinta untuk kembali ke nol, kembali ke fitrah, dan mencintai pekerjaan. Insya Allah mendapatkan ridhoNya,” tutur Cak Nun di sela-sela ceramah Syawalan, sembari melontarkan ultimatum pada setiap civitas agar rajin bekerja dan menempatkannya sebagai ibadah.
Hari Pertama Masuk Kerja
Syawalan yang diisi dengan ceramah Cak Nun tersebut menggawangi hari pertama masuk kerja di kalangan civitas UNY. Sesuai dengan ketetapan Pemerintah, rangkaian libur Idul Fitri dan Cuti bersama berakhir pada 9 Juni 2019.
Oleh karenanya pada Senin (10/06), Indun Probo Utami selaku Ketua Panitia menyampaikan bahwa syawalan digelar sebagai momentum silaturahim para civitas yang telah sekitar dua minggu terpisah oleh kegiatan pribadi masing-masing seperti mudik dan aktivitas ibadah. Kegiatan tersebut kemudian dilangsungkan di Auditorium dan dihadiri lebih dari 2000 orang dosen, tendik, dan perwakilan mahasiswa UNY.
“Acara ini dihadiri Bapak Ibu Dosen, Tenaga Kependidikan, Perwakilan Mahasiswa, Bina Lingkungan, dan Mitra Kerja UNY, sejumlah 2.437 orang,” ungkap Indun dalam laporannya di agenda Syawalan.
Agenda Syawalan dimulai dengan agenda halalbihalal berupa salam-salaman secara berkeliling. Para dosen yang telah tiba bersalaman oleh para pimpinan dan ketua panitia yang telah berdiri di pintu masuk auditorium.
Setelah selesai bersalaman, mereka akan berdiri di penghujung barisan lalu menerima salam dari para dosen yang baru tiba. Demikian terus sampai barisan mengular di halaman parkir sebelah selatan auditorium.
Halalbihalal tuntas, para hadirin dipersilakan untuk menyantap hidangan berupa Opor dan aneka jajan lebaran yang telah tersedia. Lalu masuk ke dalam ruang auditorium untuk mengikuti rangkaian ceramah syawalan yang dibawakan oleh Cak Nun.
Rangkaian ceramah diawali terlebih dahulu dengan pembacaan doa dan lantunan rebana. Selepas itu, ada laporan dari Indun selaku Ketua Panitia, dan sambutan dari Prof. Sutrisna Wibawa selaku Rektor.
Barulah kemudian, Cak Nun membawakan tausiyah selama kurang lebih dua jam. Tausiyah dibawakan dengan dimoderatori oleh Prof. Suminto A. Sayuti, guru besar FBS UNY.
“Terima kasih kepada Bapak Rektor atas kepercayaan kepada kami untuk melaksanakan penyelenggaraan kegiatan syawalan keluarga UNY, dan kepada keluarga besar UNY telah hadir dan meluangkan waktu hadir di tempat ini untuk halalbihalal,” lanjut Indun.
Sarana Inspeksi dan Refleksi
Karena bertepatan dengan hari pertama masuk kerja, Sutrisna menggunakan momentum Syawalan sekaligus sebagai inspeksi karyawan UNY. Dari total 996 dosen dan 985 tenaga administrasi, laporan presentasi UNY mencatatkan kehadiran 1.735 civitas. Civitas yang tidak masuk pada umumnya karena berhalangan, dan diharapkan segera melaporkan serta kembali beraktivitas sebagaimana mestinya.
“Mungkin yang tidak hadir karena sesuatu hal, sakit atau dalam perjalanan, kami doakan semoga lancar dan sembuh,” pesan Sutrisna.
Refleksi kemudian dilakukan dalam banyak hal. Terkait silaturahmi dalam halalbihalal misalnya, Sutrisna menyebutkan bahwa fenomena dan istilah tersebut adalah variasi spasial yang unik dan hanya ada di Indonesia.
Jika ditelusuri di negara-negara Jazirah Arab, tidak ada fenomena halalbihalal baik dalam terminologi kata maupun tradisinya. Halalbihalal justru ditemukan di kamus bahasa Jawa-Belanda kumpulan Dr. Th. Pigeaud, akademisi Belanda, yang terbit pada tahun 1938.
“Idulfitri dirayakan dengan ibadah. Di kita jadi momentum sekalian halalbihalal, sekalian silaturahim. Artinya, halalbihalal ini kebiasaan khas Indonesia,” ujar Sutrisna.
Terkait pekerjaan para civitas di UNY, syawal diharapkan dapat memberi spirit untuk meningkatkan kinerja dalam rangka mewujudkan UNY unggul. Dengan cara memberikan yang terbaik, memiliki personal goal setting atau perencanaan tujuan, purpose atau kejelasan tujuan dan passion atau gairah.
“Besarnya kesulitan atau beratnya tantangan yang kita hadapi, penyelesaian dan ketemunya jalan keluar, lebih ditentukan oleh gairah kita dalam menjalankan tugas yang kita emban. Mari kita teguhkan tujuan karir berprofesi agar memiliki arti penting, relevan dan mendekatkan diri kepada niat kita untuk beribadah, yang pada akhirnya akan mengantarkan kita kepada kesuksesan,” imbuhnya.
Tentang kerendahan hati, Cak Nun menghadirkan keteladanan lewat menyatakan diri tidak pantas menjadi pembicara di hadapan kalangan civitas akademik layaknya yang ada di kampus. “Kesalahan besar UNY mengundang saya, wong saya ini bukan siapa-siapa,” demikian ungkap Cak Nun.
Sikap tawadhu tersebutlah yang dijadikan acuan untuk berefleksi bersama para civitas terkait ibadah puasa di bulan Ramadhan. Cak Nun mengajak para civitas memikirkan ulang bahwa puasa bukanlah sebuah prestasi. Melainkan justru bentuk kolusi antara manusia dengan Allah SWT, karena Idulfitri menjadi wujud kemurahanNya. Memaklumi manusia yang hanya mampu berpuasa setidaknya selama sebulan saat Ramadhan.
“Karena kelemahan manusia, maka Allah memberikan kemurahan hanya (puasa) di (bulan) Ramadan. Harusnya pusa itu setahun. Nyatanya,, sebulan pun sulit karena masih banyak diantara kita yang sulit lawan hawa nafsu. Kalau hanya membatasi makan sehari-hari karena bila demikian, binatang pun juga bisa melakukannya,” pesan Cak Nun.
Oleh karena itu, manusia wajib mensyukuri berkah yang diberikan. Dengan cara mengembalikan diri ke fitrah dan tekun melakukan apapun yang menjadi jalan hidupnya. Ikhtiar dalam bekerja dan beribadah, disebut Cak Nun akan menyadarkan bahwa betapa tidak layaknya manusia yang di mata Allah sangatlah kecil dan tak berdaya.
No Responses