Menengok proses pembelajaran tak ubahnya melihat anak-anak riang
bermain. Mereka diajak belajar tanpa penindasan psikis. Sekolah bukan
beban, melainkan arena tumbuh bersama tanpa sekat
Guru tak boleh menjajah kelas. Begitu kesan pertama bila menengok atmosfer pembelajaran di sekolah Finlandia. Negara yang terletak di ujung utara Eropa itu mengarahkan siswa belajar mandiri. Sekilas pandangan tersebut terkesan menakutkan. Tapi tidak untuk siswa Finlandia. Di ruang kelas, siswa boleh berkreativitas tanpa batas. Sundstrom, pendidik di SD Poikkilaakso, percaya bahwa iklim demikian mampu membuat
siswa bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Nilai utama yang pertama kali diajarkan guru di Finlandia ialah kemandirian. Nilai tersebut
dipercaya menjadi fondasi kepribadian siswa. Uniknya, guru tak diperbolehkan mengatakan kata tidak tatkala merespons pendapat siswa. Sekalipun pendapat itu jauh
dari kebenaran ilmu yang tertuang di buku, namun dengan menghindari kata bernuansa negasi, para siswa berani mengemukakan pendapatnya.
Di kelas, tanpa intervensi, guru bak mediator. Siswa didorong terlibat aktif. Tatkala guru menyampaikan materi, ia menitikberatkan pada bagaimana membuat siswa antusias bertanya. Ini mengakibatkan proses pembelajaran di kelas bersifat dialektis. Bila terdapat siswa yang pasif, guru akan mendekatinya. Potret tersebut jauh dari kesan diskriminasi.
Dorongan guru terhadap siswa juga muncul melalui pertanyaanpertanyaan reflektif. Guru tak sekadar bertugas menyampaikan informasi tapi juga mengajak siswa mencari sendiri jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Ini bukti bahwa siswa di Finlandia diajak bekerja secara independen. Tak jarang guru tiba-tiba memberikan waktu kepada siswa selama beberapa menit untuk pergi ke perpustakaan demi mencari informasi.
Pemerintah Finlandia menginisasi iklim belajar siswa yang bebas tekanan. Jika siswa merasa tertekan—selalu dikomando untuk menerima pendapat guru—hasil belajar pun akan nihil. Guru di Finlandia mafhum, bila siswa diberi beban melampaui batas, siswa akan membenci pelajaran, bahkan sekolah. Karenanya, tujuan utama pendidikan Finlandia bukan hasil numerik, melainkan kenyamanan siswa dalam mencintai subjek ilmu.
Rasa nyaman itulah yang menjadi pokok pendidikan Finlandia. Demi membangun lingkungan nyaman di kelas, guru tak tanggung-tanggung mengonstruksi proses pembelajaran melalui permainan. Sesekali ia mengajak siswa melakukan permainan yang secara tak langsung merebut hati siswa supaya betah di kelas. Guru, dengan kata lain, mengajar dengan cinta. Bukan lewat tuntutan yang menindas supaya siswa bertekuk lutut pada guru.
Kehadiran Dewantara
Jamak diketahui pendidikan di Finlandia secara implisit mengadopsi nilai-nilai Ki Hadjar Dewantara. Anies Baswedan, mantan Mendikbud (2014-2016), mengakui kenyataan itu. “Di Indonesia, buku Ki Hadjar tak dibaca, namun di Finlandia justru dipraktikan,” tuturnya. Menurutnya, Finlandia tak memiliki sekolah tapi taman belajar.
Pengertian sekolah bermula dari bahasa Latin, yakni skhole, scola, scolae, atau scholae yang berarti waktu senggang. Istilah itu acap kali digunakan sebagai model tempat
pendidikan di seluruh dunia. Pendapat mantan Rektor Universitas Paramadina itu menampik anggapanmformat sekolah di Finlandia sebagai sekolah dalam pengertian umum. Citra tempat belajar formal di Finlandia jauh dari kesan baku dan beku. Justru sebaliknya: cair dan menyenangkan.
Konsep bermain sambil belajar juga ditekankan Pasi Sahlberg, mantan CIMO (Centre for International Mobility and Cooperation), Kemendikbud Finlandia. “Anak harus bermain. Mereka harus difasilitasi secara penuh,” jelasnya pada Simposium Pendidikan yang
bertajuk Finnish and Indonesian Lessons di Jakarta.
Pendapat Pasi sebetulnya telah dikemukakan Ki Hadjar Dewantara di Mimbar Indonesia bulan Desember 1948. Ia menulis, “Dalam kehidupan anak-anak, permainan mempunyai arti yang sangat penting. Permainan mengisi kehidupan anak, mulai ia bangun sampai tidur kembali.” Pandangan itu sekilas diterapkan pemerintah Finlandia. Terutama seputar iklim belajar di kelas yang berpaut erat dengan dolanan. Dunia permainan menjadi kebutuhan anak. Bapak Pendidikan Indonesia itu juga menulis, “Permainan anak-anak dapat dipandang sebagai tuntutan jiwa mereka untuk menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani.” Dari sini kemudian guru di Finlandia bereksperimen untuk tak mendikotomikan antara “permainan” dan “pelajaran”. Keduanya berkelindan dan saling mengisi sebagai bagian dari proses pembelajaran afektif serta kognitif.
Dua Ranah
Kesuksesan pendidikan di Finlandia layak diteladani. Namun, bukan berarti Indonesia perlu meniru persis, melainkan harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan. Erno Lehtinen, profesor pendidikan dari Universitas Turku Finlandia, tak merekomendasikan Indonesia melakukan hal yang sama. “Mungkin sistemnya bisa dicontoh. Tapi probabilitas berhasil atau tidaknya sangat kecil.
Hal itu karena perbedaan faktor struktur masyarakat, budaya, dan lain sebagainya.” Ia membandingan beberapa tahun silam keadaan sistem pendidikan Finlandia yang tak jauh berbeda dari Indonesia. “Sekitar tahun 70 sampai 80-an, negara kami juga masih berpendapatan rendah. Banyak warga yang tak berpendidikan tinggi. Saat itu kami banyak tertinggal dari negara-negara maju,” tuturnya.
Erno menggarisbawahi bahwa dengan melakukan perubahan dalam hal substansi seperti proses pembelajaran, sistem, dan kualitas guru, pendidikan di Indonesia akan berubah ke arah yang lebih baik. “Intinya negara Anda harus bertransformasi secara mandiri,” katanya, seperti dikutip news.detik.com.
No Responses