SECERCAH harapan itu datang dari Vokasi. Dengan gelar diploma dan sarjana terapan, mahasiswa dididik dengan ilmu pasti dan keterampilan konkret di dunia usaha.
Bekalnya bekerja juga akan didampingi dengan pengalaman magang mumpuni dan pengetahuan dari praktisi perusahaan secara langsung. Dari situlah UNY datang dengan rencananya merubah kampus UNY Wates menjadi Sekolah Vokasi. Yang kemudian hendak menyambar harapan tersebut, sembari harus menyambut tantangan yang tak kalah hebatnya dibalik keberadaan pendidikan vokasi.
Keterampilan dan bekal keilmuan yang dientaskan vokasi tersebut, akan menemui rintangannya tersendiri dalam rendahnya sinergitas dunia pendidikan Indonesia dengan dunia kerja. Di satu sisi, perguruan tinggi setiap tahun menyediakan suplai pekerja dengan statistik yang terukur. Berapa yang diluluskan tiap tahun, berapa yang masuk dan diterima di prodi tersebut, dan bagaimana kemampuan anak tersebut yang tercantum dalam manuskrip ijazah.
“Tapi untuk demand dunia kerja, apa pernah kita punya data spesifik berapa pekerja kebutuhan kerja? Saya berani beri anda apapun, kalau misal bisa sediakan data bagi saya berapa spesifik kebutuhan kerja kita,” tantang Prof. Slamet P.H., M.A., M.Ed., M.A., M.L.H.R., Ph.D., guru besar Fakultas Teknik UNY dalam Diskusi Pendidikan di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Senin (05/06/2017).
Minimnya Data dan Kritik Sosial
Data-data yang dimaksud Slamet adalah data permintaan secara spesifik dunia kerja Indonesia atas lulusan pendidikan vokasi. Berkenaan dengan seperti apa yang benar-benar dibutuhkan dunia kerja, secara spesifik masing-masing perusahaan yang memiliki perbedaan proses produksi masing-masing. Serta dimana lokasi kebutuhan pekerja tersebut akan dibutuhkan. Yang memang secara praktis cukup menantang untuk dilakukan, karena harus menggelar survei secara besar-besaran secara masif, terstruktur, kontinu, dan melibatkan dana yang tidak sedikit pula.
“Kita jadi dalam bayang-bayang fatamorgana kan ini semua (karena tidak punya data dalam menyediakan pendidikan vokasi). Padahal Amerika Serikat itu punya agensi khusus pendataan tenaga kerja (US. Bureau of Labor Statistics). Mereka bisa tahu selama 20 tahun kedepan berapa pekerja dibutuhkan dan kemana mereka dibutuhkan,” ungkapnya menyayangkan.
Ketiadaan data tersebut menurut Slamet terjadi karena di Indonesia, keberlanjutan program antar presiden dan menteri sangat minim. Ketika era Prof. Wardiman Djojonegoro menahkodai Kemdikbud dalam Kabinet Pembangunan VI misalnya, Wardiman telah membentuk Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN) dalam Kepmendikbud. Majelis tersebut dibentuk bersama dengan ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dari tingkat pusat, daerah, hingga per sekolah. Tujuannya sederhana: membentuk kurikulum kerjasama industri dan pendidikan, serta sinergitas penyaluran tenaga kerja.
Namun naas, majelis tersebut tak lagi berlanjut ketika Wardiman tak lagi menjabat sebagai menteri. Diperparah dengan turbulensi politik Indonesia ketika Wardiman berakhir menjabat pada Maret 1998, serta ambisi era reformasi untuk mencerabut semua peninggalan kepemimpinan sebelumnya, majelis itu tinggal nama. Tanpa rekomendasinya pernah didengar walau statusnya masih aktif dan keberadaanya masih eksis hingga kini. Hal serupa terjadi dalam Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia’s Economic Development (MP3EI) yang disusun Presiden SBY, dimana masterplan jangka panjang itu tak lagi dijadikan acuan bagi kepemimpinan selanjutnya walau memuat data kebutuhan tenaga kerja.
“Walaupun MP3EI ini tidak lengkap dan belum spesifik juga, hanya statistik makro berbasis zonasi mana-mana tempat pekerja dibutuhkan. Jadi kita itu tidak punya road map. Saya sudah hidup dan mengabdi pada delapan mendikbud dalam berbagai kesempatan. Delapan kali itu pula tafsiran berganti,” ungkapnya.
Selain itu, kritik juga kerap datang dari para pengamat budaya dan pendidikan. Beberapa pihak menganggap bahwa pendidikan harusnya jadi ajang pencarian bakat para siswa dan dibangun dengan basis bukan kreatifitas. Bukan link and match, proses menyinergikan industri dan pendidikan, yang justru jadi ajang untuk sekedar membentuk para generasi muda bangsa menjadi sumber daya industri dalam menyokong pola ekonomi kapitalistik. Menjadikan mereka buruh yang hanya diajarkan kemampuan tertentu dan hanya hidup demi uang.
“Tapi mereka itu harusnya ingat, bahwa pendidikan itu basisnya tidak steril dan tidak vakum dengan yang lain. Disinilah vokasi dibangun berbasis interaksi dielaktis dan simbiosis dengan dunia usaha, untuk saling menjembatani demi kebaikan. Bukan lalu memusuhi dunia usaha dengan anggapan kapitalistik itu,” tekannya.
Perubahan Nomenklatur di Tangan Kemristekdikti
Belum selesai sekolah vokasi menata dirinya sejak awal dibentuk ketika Universitas Indonesia memotori pembangunannya 2008 silam. Menjadi tonggak fakultas vokasional pertama di perguruan tinggi se-Indonesia, walau sebelumnya sudah punya histori panjang dalam pendidikan diploma dan ragam perguruan tinggi politeknik di Indonesia. Namun kini, sekolah vokasi harus menghadapi tantangan baru berupa Permenristekdikti 15/2017 tentang Penamaan Program Studi Perguruan Tinggi.
Isi peraturan tersebut sederhana: memberikan Kemristekdikti wewenang menamakan program studi, guna keseragaman pandangan antar universitas dalam nomenklatur. Karena sebelumnya ketika masih jadi wewenang universitas, penamaan yang berbeda dari sebuah studi akan membuat para mahasiswanya kesulitan mencari pekerjaan.
“Misalnya saja S1 Manajemen Kebijakan Publik UGM ini, sementara belum tercantum dalam kriteria rekrutmen CPNS Kemendagri. Yang di list Administrasi Publik. Padahal ini prodi sama bagus, dan kita sudah terus dialog (dengan KemenPAN-RB) biar diberi kesempatan juga,” ungkap Dr. Sumarsono, Dirjen Otonomi Daerah ditemui Reporter Pewara Dinamika, Rabu (03/08/2016) di Fisipol UGM.
Namun bagi vokasi, tantangan ini menjadi berbeda karena mereka diminta mengubah semua nama prodinya berdasarkan Permenristekdikti tersebut. Yang mensyaratkan nama studi diploma tidak sama dengan sarjana, dan harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam peraturan tersebut. Bagi Wikan Sakarinto PhD, Dekan Sekolah Vokasi UGM, ia menganggap tantangan ini sebagai badai besar bagi fakultas yang dipimpinnya.
“Ibarat orang sudah lahir, gede, tapi dipaksa ganti nama. D-III Teknik Mesin jadi D-III Teknologi Mesin, ini kan sama saja seperti saya buka klub baru papan bawah. Itulah mengapa saya mending buka D-IV dan terus bangun keunggulan vokasi,” tekannya kepada Reporter Pewara Dinamika, Selasa (06/06/2017).
Senada dengan Wikan, ragam fenomena tersebut juga mendorong Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, menyatakan diri siap menghadapi tantangan. Bagi Sutrisna, pembangunan sistem dan terus berusaha bersinergi kemudian menjadi penting, alih-alih menyerah karena begitu rumitnya problematika bangsa ini. Bagaimana kemudian ia sebagai rektor membangun sistem dan berupaya penuh untuk bersinergi dengan sumber daya yang ada, demi membangun kolektifitas, menyinergikan pandangan, dan keberlanjutan pendidikan vokasi yang lebih baik.
“Jadi di sini tantangan kita. Memang kalau di tataran kebijakan itu kita main di prediksi, bahkan kalau pakai data pun kita juga harus proyeksi dan tidak bisa konkret itu perencanaan makro. Tapi keberadaan ragam tantangan ini bukan penghenti langkah kita. Bagaimana kemudian kita harus duduk bersama dan harus terlibat sistem pendidikan demi mendidik anak bangsa yang lebih baik lewat vokasi,” harap Sutrisna.
No Responses