“Nasir melakukan revolusi seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Perubahan besar di dalamnya tak sekadar persoalan sistem tapi substansi. Seleksi serba berbasis digital”
Seucap kata Mohamad Nasir, Menteri Ristekdikti, berdampak luas bagi khalayak akademik. Tak terkecuali buat calon cendekiawan muda lulusan sekolah menengah atas. Tahun ini mereka was-was sekaligus antusias. Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) tahun 2019 praktis berubah. Digadang mengikuti arus zaman, seleksi nasional itu kini berbasis digital. Prasyarat masuk universitas makin ketat.
Pada konferensi pers SMPTN, 22 Oktober, tahun lalu, Nasir mengatakan, “Kalau biasanya, peserta daftar dulu baru tes. Ketentuan di tahun 2019 adalah tes dulu kemudian dapat nilai. Nah, nilainya dipakai untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri.” Kebijakan ini dibesut agar mendapatkan calon mahasiswa yang berkualitas karena mekanisme seleksinya lebih menantang. Sekilas seleksi ini mirip ujian IELTS atau TOEFL. Hasil nilai dipakai untuk mendaftar kampus. Skor menentukan kampus mana yang layak bagi calon mahasiswa.
Metode tes pramasuk perguruan tinggi negeri hanya satu, yakni Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Ujian tulis Nasir setip. Tahun ini Nasir juga menyetop ujian bermedia android. Ia menggeneralkan ujian sebatas pakai komputer. Ini berarti tiap kampus penyelenggara tes yang ditunjuk mesti menyediakan tempat ujian. Laboratorium komputer mesti siap pakai dengan spesifikasi dan performativitas jempolan.
Materi UTBK inilah yang menantang karena relatif baru bagi mekanisme masuk perguruan tinggi. Jenis meteri soal yang digunakan meliputi Tes Potensial Skolastik (TPS) dan Tes Kompetensi Akademik (TKA). Keduanya berlaku bagi kluster Soshum maupun Saintek. Dua tes tersebut bertujuan untuk menjaring kecakapan calon mahasiswa secara psikologis maupun akademik. Menteri Nasir mengikutsertakan aspek psikologi sebab urgensi ilmu ini dalam menganalisis kecenderungan anak: apakah gambaran psikis peserta tes dianggap memenuhi sebagai modal dasar menjadi mahasiswa kelak.
Kerangka materi TKA, UTBK, dikembangkan berdasarkan konsep High Order Thinking Skills (HOTS). Kemampuan analisis ditekankan di sini. “Bagaimana kemampuan mereka untuk menganalisis, ini menjadi sangat penting,” kata Nasir. Sedangkan materi TPS, dimensi kognitif yang lebih ditekankan. Ini penting supaya kompetensi penalaran dan pemahaman umum calon mahasiswa memenuhi standar. Sekolah formal, betapapun, mendasarkan ini karena keberhasilan akademik tak terlepas darinya.
Menteri yang juga profesor di Undip itu menambahkan tiap peserta hanya diberi kesempatan tes sebanyak dua kali. Menjaring calon cendekiawan di perguruan tinggi, melalui kesempatan dua kali itu, diharapkan Nasir menjadi dua peluang. Bila tes pertama skor kurang memuaskan ia dapat menggunakan kesempatan kedua. Perolehan skor, menurut Nasir, ditentukan pula oleh kesiapan dan kesungguhan belajar dua materi di atas.
Skor tertinggi dari dua kesempatan tes yang akan dijadikan acuan pendaftaran. Calon mahasiswa diharapkan Nasir tak perlu khawatir bila tes pertama malah lebih tinggi. “Di sini bukan nilai akhir. Tapi nilai tertinggi saja,” ucapnya. Kendati begitu, Nasir menandaskan tiap tes memiliki ekspresi pertanyaan soal yang berbeda tapi tingkat kesukaran substansial yang sama. Ini mirip dengan ujian nasional: bentuk soal dikonstruk berbeda tapi sesungguhnya mengacu pada kompetensi dasar yang sama.
Tahun ini Nasir membentuk panitia khusus di bawah Kemenristekdikti sebagai pelaksana konseptual maupun praksis di lapangan demi menyukseskan seleksi. Ravik Karsidi, Ketua LTMPT, mengatakan, “Mulai tahun 2019 Kemenristekdikti akan memberlakukan kebijakan di bidang seleksi penerimaan mahasiswa baru yang dilaksanakan oleh institut bernama Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) 2019.” Dua orang penggawa, Nasir dan Ravik, adalah pihak yang bertanggung jawab di belakang kesuksesan seleksi nasional itu.
Tanggal 9 Maret ini, menurut Ravik, LTMPT telah melakukan uji coba UTBK di 73 lokasi. Kesiapan di tiap lokasi itu hampir seratus persen. “Secara keseluruhan ya sudah siap.” Walau media seleksi serba komputer, pihaknya juga memfasilitasi bagi penyandang difabel. Aplikasi screen readers membantu penyandang tuna netra mampu mengerjakan soal secara mandiri. Tanpa pendamping khusus, aplikasi yang dikembangkan itu, memberi kemudahan peserta difabel karena dilengkapi instruksi lisan.
Aplikasi ini sebetulnya sudah lazim diterapkan di sekolah luar biasa. Pengonstruk soal juga tak menyertakan jenis soal bergambar. “Semua serba lisan dan penyandang difabel tuna netra tinggal menyimak,” jelasnya. Durasi pengerjaan soal tak berbeda dengan peserta umum. Semuanya dibuat sama. Tentu dengan pendampingan khusus di kelas difabel.
Ringkasnya, lanjut Nasir, tahun 2019 pola dan daya tampung masuk perguruan tingggi negeri meliputi tiga jalur: SNMPTN (20%), SBMPTN (40%), dan Seleksi Mandiri (30%). Seleksi terakhir ini disesuaikan dengan daya tampung masing-masing Prodi di universitas terkait. Nasir menuturkan perubahan ini bukan sebatas reformasi seleksi pendidikan tinggi negeri, melainkan revolusi komprehensif yang diorientasikan mampu berdampak signifikan terhadap kualitas calon cendekiawan muda kampus.
No Responses