Prestasi mempublikasikan artikel ilmiah terus dikejar oleh civitas dan kampus. Namun, publikasi bukan akhir dari perjalanan. Tak semua artikel jurnal yang sudah dipublikasikan, akan terindeks Scopus. Kualitas karya dan penyelenggaraan seminar, jadi kunci kesuksesan.
Diatas langit, masih ada langit. Inilah filosofi lazim dalam kehidupan. Dan tak terkecuali, dalam penerbitan artikel jurnal. Publikasi, terlebih lagi dalam jurnal yang berepurtasi internasional, adalah wahana untuk menyebarkan ilmu pengetahuan. Ada proses penyuntingan dan review yang begitu panjang, sebelum akhirnya artikel tersebut berhasil diterbitkan dalam jurnal.
Hasil pemikiran-pemikiran yang terpublikasi itu, layaknya diungkapkan Mohamad Nasir selaku Menristekdikti usai pada acara Sinta Award di Gedung Kemenristekdikti, Jakarta, Rabu (4/7), memegang peranan sangat penting sebagai bukti pertanggung jawaban ilmiah hasil penelitian sehingga dapat dikenal luas secara global. Menurut dia, peningkatan jumlah jurnal itu adalah dampak dari kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mendukung peningkatan publikasi dan jurnal.
Namun, untuk sampai kepada proses keterlibatannya di tengah-tengah masyarakat dunia, artikel terpublikasi itu perlu terindeks. Masalahnya adalah, tak semua buah pemikiran yang diterbitkan di jurnal akan dipastikan masuk dalam pengindeksan. Beberapa yang paling populer, adalah Google Scholar dan Scopus.
Alasannya, proses pengindeksan dan penerbitan jurnal adalah dua hal yang berbeda. Masing-masing punya penilaiannya sendiri. Dan lembaga pengindeksan, belum tentu memandang sebuah artikel berkualitas baik sama seperti persepsi lembaga penerbit jurnal.
“Proses penerbitan jurnal dan pengindeksan adalah dua hal yang berbeda. Artikel yang terbit, belum tentu terindeks. Scopus melakukan penilaiannya sendiri berbasis pada dua variabel: kualitas karya dan penyelenggaraan seminar. Oleh karenanya, kualitas perlu dan akan kami tingkatkan. Agar kuantitas artikel jurnal Indonesia meningkat,” tutur Nasir.
Acceptance Rate dalam Pengindeksan
Khusus untuk Scopus, indeksnya kelak akan digunakan sebagai basis perhitungan dalam kalkulasi pemeringkatan QS. Menilai kampus seluruh dunia, berdasarkan pencapaiannya di dalam bidang diseminasi pengetahuan. Sehingga jika tidak terindeks Scopus, maka sama saja artikel itu tidak terkalkulasi dalam pemeringkatan QS. Termasuk, tak mampu diakses masyarakat secara luas lewat kemudahan mencari melalui fitur online pengindeksan.
Basikin selaku Sekretaris Eksekutif UNY dan Tim Asistensi Konferensi Internasional Internasional Terindeks Scopus mengungapkan, bahwa fenomena tersebut terjadi karena proses penerbitan jurnal dan pengindeksan memang benar adanya sebagai dua proses terpisah. Pengalaman UNY dalam menggelar seminar internasional dan melakukan kontrak kerjasama dengan publisher sudah membuktikan itu.
Bahkan, publisher juga mengingatkan agar logo Scopus tak dicantumkan dalam gelaran seminar internasional. Hal ini terkait dengan walaupun publisher tersebut mengupayakan tulisan yang dikeluarkannya kelak terindeks Scopus, namun hal tersebut sifatnya belum pasti. Selain itu, lembaga penerbit adalah entitas yang terpisah dengan pengindeks. Tidak memiliki afiliasi apapun.
“Karena kita kan hanya bisa bekerjasama dengan penerbit, tidak dengan pengindeks. Sebesar apapun penerbit, termasuk yang biasa kita gunakan yaitu CRC Balkema da IOPscience, mereka juga lembaga komersil dan independen yang terpisah dari Scopus,” ungkap Basikin.
Namun, bukan berarti penyelenggara seminar senantiasa berada dalam ketidakpastian dalam menerbitkan publikasi. Masing-masing publisher, memiliki apa yang diungkapkan Basikin sebagai Acceptance Rate. Yaitu persentase rata-rata atas artikel jurnal yang diterbitkan oleh penerbit tersebut, hingga akhirnya berhasil terindeks Scopus.
Pada penerbit berepurtasi besar layaknya CRC Balkema dan IOP Science, angka acceptance rate berada di kisaran 70%. Angka inilah yang biasa juga menjadi acuan oleh UNY. Karena dari 28 seminar internasional yang tahun ini dihelat UNY, sebelas diantaranya bekerjasama untuk penerbitan dengan IOP.
Dengan acceptance rate tersebut, artinya adalah hanya tujuh dari sepuluh artikel yang akan terindeks oleh Scopus. Padahal, semua diantaranya telah diseminarkan oleh UNY dan diterbitkan dalam jurnal berepurtasi internasional.
“Jadi sejak awal harus ditekankan, bahwa tidak semua artikel yang sudah diseminarkan dan dipublikasikan akan terindeks Scopus. Scopus sebagai agen pengindeks, punya kriterianya tersendiri. Dan untuk tiap jurnal, memiliki acceptance rate yang sudah diberitahukan kepada penyelenggara seminar sejak awal,” tukas Basikin.
Strategi Penyelenggaraan Seminar
Untuk memastikan bahwa artikel-artikel civitas UNY bisa masuk dalam pengindeksan Scopus, maka kualitas harus selalu dipastikan dalam kondisi yang baik. Sesuai dengan standar penulisan, memiliki unsur kebaruan sesuai dengan lingkup dan bidang studinya, serta diproyeksikan memiliki impact factor yang cukup baik.
Akan tetapi, kualitas personal saja tidak cukup. Basikin mengungkapkan bahwa Scopus sebagai pengindeks juga memandang kualitas penyelenggara. Seminar yang digelar secara baik, mengundang pembicara internasional yang kompeten di bidangnya, serta diselenggarakan secara rutin, akan memiliki peluang terindeks yang lebih besar. Sekaligus, dengan proses penerbitan yang lebih cepat.
“Jika biasanya artikel jurnal baru terindeks satu bahkan dua tahun setelah diterbitkan, seminar yang digelar secara rutin dan kualitas serta repurtasinya telah terjamin, bisa terindeks hanya dengan waktu enam bulan,” tutur Basikin.
Selain tentang kualitas seminar, keberlanjutan dari gelaran tersebut juga kerap disoroti oleh Scopus. Dalam proses pengindeksan, artikel jurnal dalam beberapa kesempatan baru dimasukkan ketika sudah ada rencana bahwa seminar seri selanjutnya digelar. Misalnya, seminar yang baru pertama kali digelar oleh UNY, akan terindeks artikel-artikelnya ketika seminar yang kedua akan dihelat kembali beberapa tahun kemudian.
Beberapa seminar memang telah digelar UNY secara rutin. Dalam tahun anggaran 2018 yang menekankan digelarnya 28 seminar sebagai contoh, 13 diantaranya telah diselenggarakan secara teratur oleh UNY. Misalnya International Conference on Educational Research and Innovation (2018), yang dihadiri Menristekdikti Prof. Mohammad Nasir sekaligus Menteri Pemberdayaan Perempuan Yohana Yembise sebagai pembicaranya.
“Seminar-seminar rutin, repurtasinya terjamin, dan keynote speakernya pada umumnya unggulan. Mereka sudah punya nama, dan lembaga pengindeks tidak akan ragu. Namun, tidak semua seminar kan tidak seperti itu,” ungkap Basikin merujuk kepada 15 seminar lainnya di UNY, yang baru pertama kali digelar di UNY atau sumber pendanaannya berasal dari bantuan dana yang sifatnya tahunan.
Untuk menyiasati keberlanjutan seminar, UNY memiliki beragam cara. Yang pertama, adalah dalam pemberian hibah seminar, universitas meminta surat pernyataan bahwa fakultas atau lembaga penelitian yang menerima dana tersebut akan menyelenggarakan seminar untuk kali selanjutnya dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya, setahun atau dua tahun kemudian.
“Dengan demikian, surat pernyataan itu juga dilampirkan dan penerbit dan pengindeks. Seminar ini terjamin repurtasi dan keberlanjutannya,” tutur Basikin.
Selain itu, UNY juga kerap bekerjasama dengan asosiasi profesi atau studi sebagai langkah yang kedua. Mereka pada umumnya sudah, atau memiliki rencana, untuk menyelenggarakan seminar selanjutnya untuk pengembangan anggota profesi atau studi tersebut.
Contohnya, penyelenggaraan International Conference on Local Wisdom (INCOLWIS) 2018 yang bekerjasama dengan Ikatan Dosen Budaya Indonesia (IKATBUDI). Seminar tersebut pada awalnya dicetuskan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Jawa, FBS UNY. Akan tetapi kedepannya, IKATBUDI berkomitmen untuk melanjutkan gelaran tersebut dengan nama seminar yang serupa. Baik itu diadakan di UNY kembali, ataupun di universitas lain.
Basikin memandang bahwa hal tersebut adalah langkah cerdas karena keberadaan pembuatan komitmen, bahwa INCOLWIS berlanjut. Namun tak harus Pendidikan Bahasa Jawa lagi yang menggelar. Karena memang, seminar itu didanai oleh grant (bantuan) dana dari rektorat.
“Belum tentu misalnya dalam tahun-tahun kedepan, anggaran akan turun serupa. Bukan karena komitmen UNY akan berubah, namun penyusunan daftar isian perencanaan anggaran dilakukan setiap tahun dengan prioritas dan arahan dari Kementerian serta banyak pihak. Sehingga tidak bisa nyagerke,” tukas Basikin.
Sedangkan cara yang ketiga, yaitu bekerjasama dengan universitas lain yang telah memiliki seminar. UNY kemudian berperan sebagai pendukung, atau penyelenggara bersama (joint commitee). Dengan demikian, UNY sebagai institusi maupun civitas yang ada di dalamnya, dapat berperan seoptimal mungkin untuk pengembangan diri dan mengabdikan ilmunya.
“Apapun jalannya, seminar internasional juga harus bisa digelar oleh UNY. Ini meningkatkan kualitas sekaligus repurtasi sebagai lembaga akademik. Termasuk mendorong dosen dan civitas untuk publikasi, sehingga meningkatkan kualitas sekaligus peringkat kita,” pungkas Basikin.
No Responses