Penghapusan Ujian Nasional telah menjadi diskursus yang abadi sepanjang sejarah pendidikan, dengan argumentasi yang sama kuat antar para pihak. Namun, Ujian Nasional akan tetap hadir. Bertahan sebagai penjaga kualitas pendidikan bangsa.
Pada Rapat Kerja dengan Komisi X di Gedung DPR, Perio Desember 2016, Mendikbud Muhadjir Effendy mengeluarkan wacana kebijakan soal moratorium Ujian Nasional. Biasa disingkat sebagai UN, ujian tersebut saat ini tak berperan sebagai alat ukur pendaftaran Perguruan Tinggi Negeri.
Selain itu menjelang UN, sekolah disebutnya kerap memprioritaskan mata pelajaran yang diujikan. Sehingga mata pelajaran di luar prioritas itu tidak dianggap penting. Belum lagi mempertimbangkan penggunaan soal pilihan ganda yang tidak mengajarkan siswa berpikir kritis.
“UN juga dianggap hanya menguji ranah kognitif dan beberapa mata pelajaran saja. Akibatnya cenderung mengesampingkan hakikat pendidikan untuk membangun karakter, perilaku, dan kompetensi,” kata Muhadjir.
Wacana dari Muhadjir hanyalah satu dari sekian banyak diskursus terkait penghapusan UN. Atas hasil kesepakatan Pemerintah dengan DPR, saat itu diputuskan UN bukannya dimoratorium. Melainkan didesain agar menjadi lebih kritis dan analitis.
Hal tersebut dikisahkan kembali oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam Seminar Dies Natalis UNY di Ruang Sidang Utama, Sabtu (04/05).
Bahwa perdebatan tentang UN seakan-akan abadi sepanjang sejarah pendidikan, dengan argumentasi yang sama kuat antar para pihak. Oleh karena itu, usulan dari Calon Wakil Presiden 02 Sandiaga Uno, bukanlah yang pertama mengusulkan hal ini. Ia justru menambah khasanah keilmuan untuk pengambilan keputusan bangsa kedepan.
“UN menjadi perdebatan publik. Wacana penghapusan UN menjadi isu seksi di dunia pendidikan. Itu sudah biasa, dan justru menambah khasanah keilmuan (usulan Sandiaga Uno menggantikan UN dengan ujian penelusuran minat dan bakat),” ungkap Jusuf Kalla.
Urgensi Terselenggaranya UN
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali menyinggung alasan Pemerintah tetap mempertahankan pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Menurut JK, pelaksaaan UN diperlukan untuk mencegah terjadinya celah perbedaan tingkat pendidikan Tanah Air.
Ujian Nasional kemudian menjadi alat yang efektif bagi negara untuk mengetahui seberapa jauh pencapaiannya atas goals yang telah ditetapkan para founding father: mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Lima belas tahun lalu kita kembalikan UN banyak yang protes, saya bilang tanpa UN, maka kita membuat perbedaan gap (celah) lebih banyak, dan kita membohongi diri sendiri,” kata JK saat membuka seminar nasional Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sekaligus meresmikan Gedung Program Pascasarjana UNY, Sleman, Sabtu (4/5).
JK menyebut sebelum UN diberlakukan, terjadi perbedaan mutu pendidikan antara siswa di satu daerah dengan daerah lainnya.
Hal ini juga membuat tingkat kemampuan murid berbeda-beda. Apabila dibiarkan, kebijakan penghapusan UN akan berhilir pada perbedaan tingkat kemampuan dan munculnya ketidakadilan suatu bangsa. Karenanya, kata JK, pelaksanaan UN memang diperlukan untuk menjadi standar pendidikan Indonesia.
“Karena waktu sebelum itu, kita membiarkan murid di daerah daerah lain walaupun tingkat pendidkan rendah tapi diberikan angka sama enam di Yogya, tetap enam di Sultra di Maluku tapi dengan tingkat kemampuan berbeda, maka kita membiarkan terjadinya gap yang besar suatu bangsa,” kata JK.
Pentingnya standarisasi juga dikuatkan oleh Prof. Rochmat Wahab selaku Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Etos belajar siswa secara psikologis dapat dipastikan menurun bila UN tidak digelar, termasuk seperti saat ini dimana UN tidak dijadikan standar kelulusan. Tidak ada insentif bagi siswa untuk belajar dan menempuh ujian.
“Tren sudah membuktikan, ada tren penurunan nilai. Perbandingan rata-rata nilai dari 2016 ke 2017 berdasarkan paparan Kemdikbud yang dirilis Kompas (05/05), turun berkisar antara yang terendah 4,09 poin untuk SMA Negeri hingga 6,53 poin untuk SMK swasta. Pada tahun 2018, angka tersebut turun kembali sebesar 0,67 sampai 5,74 poin,” imbuh Rochmat.
Pendidikan Memang Keras Menanggapi Ujian Nasional yang dapat memberikan tekanan psikologis pada siswa, JK tak menafikan. Bahkan, ia menegaskan bahwa pendidikan secara natur memanglah sulit.
“Kalau mau gampang, ya jangan sekolah. pendidikan memang harus keras, kalau nggak keras tentu sulit, maka timbullah menjadi ijazah yang penting bukan otak yang penting,” kata JK.
Satoto Endar Nayono, Dosen UNY dan Anggota Forum Masyarakat Yogya Istimewa Peduli Pendidikan, menyatakan pihaknya mengusulkan perbaikan pada sistem zonasi dalam kerangka mendukung kompetisi. Ujian Nasional sebagai acuan merit dalam kompetisi, juga dapat ditempatkan sebagai stres yang positif dan
“Stres, maupun kecemasan, tak bisa dipungkiri akan timbul dari UN sebagai respon individu terhadap situasi yang dianggapnya menakutkan. Itu harus disikapi dengan semanat bertarung, stres positif. Disalurkan energinya secara optimal dengan cara belajar lebih tekun dan penyediaan fasilitasi secara lebih komprehensif,” ungkap Satoto.
Terkait sistem ujian nasional yang belum mengakomodasi berpikir kritis, Prof. Suyanto selaku Guru Besar FE UNY dan Anggota Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP), badan yang salah satu tugasnya merumuskan standar kualitas pendidikan dan UN, menyatakan bahwa bukan UN nya yang harus diperdebatkan.
Tetapi bagaimana UN tersebut dirumuskan dan diujikan dapat dimodifikasi untuk mengakomodir kebutuhan zaman. Misalnya soal dibuat berbasis analisis kritis dengan tingkat berpikir tinggi (High Order Thinking Skill – HOTS).
Pilihan ganda juga dapat diubah menjadi pilihan berjenjang seperti soal TPA Bappenas, atau seperti soal SBMPTN.
“Misal kalau di tes TPA Bappenas, itu pilihan yang paling benar dapat poin lima. Pilihan yang sedang-sedang dapat poin tiga. Atau soal SBMPTN, jawaban benarnya kadang tidak hanya satu dan peserta disuruh pilih mana kombinasi jawaban yang paling benar. UN bisa di tweak,” ungkap Suyanto.
Prof. Sutrisna Wibawa selaku Rektor UNY menyatakan pihaknya siap melaksanakan arahan pemerintah untuk mengembangkan pendidikan yang analisis dan berbasis HOTS. Caranya lewat melatih para calon guru sejak dini dan menelurkan riset-riset tentang pendidikan HOTS.
“UNY sebagai LPTK punya potensi untuk menyelaraskan, antara soal UN yang dirumuskan oleh dosen- dosen kita sebagai anggota tim bahkan anggota BNSP, kondisi objektif di kelas, dan metode pembelajarannya lewat melatih para guru. Sejak metode pembelajaran, harus disesuaikan pola HOTS.” pungkas Sutrisna.
No Responses