Merentang sejak zaman revolusi hingga era kiwari, telah terjadi beberapa perubahan kebijakan ihwal ujian sekolah sebagai bagian dari evaluasi pendidikan. Masing-masing kebijakan diselaraskan sesuai kondisi dan kebutuhan zaman.
Mulai 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah pimpinan Nadiem Makarim resmi mengganti Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Nasional. Perubahan bukanlah hal baru, setidaknya sejak merdeka hingga saat ini Indonesia telah melewati 8 perubahan kebijakan terkait ujian sekolah.
Mengutip buku karangan Sugiyono dkk. bertajuk Peta Jalan Pendidikan Indonesia, sistem pendidikan Indonesia selepas masa kemerdekaan masih menggunakan peninggalan zaman penjajahan Jepang. Hingga tahun 1950, soal ujian yang digunakan untuk evaluasi dibuat oleh masing-masing sekolah.
Kebijakan berubah pada 1950 saat Indonesia mulai menggunakan ujian sekolah berskala nasional. Mengutip laman Pusat Asesmen dan Pembelajaran (Pusmenjar), ujian itu dikenal dengan nama Ujian Penghabisan. Pada masa ini, soal- soal ujian dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menggunakan format uraian/esai. Adapun hasil ujian tersebut diperiksa di masing-masing pusat rayon.
Setelah digunakan selama 15 tahun, Ujian Penghabisan diganti menjadi Ujian Negara, tepatnya pada 1965. Fungsi dari Ujian Negara adalah sebagai penentu kelulusan siswa. Nantinya, siswa yang lulus Ujian Negara bisa mendaftar ke jenjang pendidikan selanjutnya yang berstatus negeri.
Apabila tidak lulus, siswa tetap mendapatkan ijazah yang bisa digunakan untuk mendaftar ke sekolah berstatus swasta. Dengan model soal uraian dan jawaban singkat serta tingkat kesulitan yang relatif tinggi, angka kelulusan dalam Ujian Negara terbilang rendah dengan rata-rata hanya 50% siswa yang lulus.
Selain itu, muncul pula kendala dalam hal distribusi soal yang menghabiskan banyak biaya, serta risiko kebocoran soal yang tinggi. Dengan kendala itu, Ujian Negara akhirnya dihapus pada 1971. Mulai tahun 1972, saat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin oleh Mashuri Saleh, ujian akhir diserahkan kembali pada masing-masing sekolah. Ujian tetap dilaksanakan pada akhir jenjang pendidikan untuk menentukan kelulusan siswa. Adapun diksi yang digunakan pada masa itu adalah Tamat/Tidak Tamat.
Dengan soal yang dibuat sendiri oleh sekolah atau kelompok sekolah, mutu soal menjadi berbeda-beda dan tak dapat dibandingkan. Akibatnya, pemetaan mutu pendidikan sulit dilakukan dan hasil ujian sekolah juga tak bisa digunakan untuk seleksi menuju jenjang pendidikan selanjutnya.
Meski demikian, kebijakan tersebut juga membawa dampak positif dimana angka drop out siswa menurun drastis, sekolah juga tak punya beban terkait kelulusan. Dalam kebijakan yang bertahan 8 tahun ini, angka kelulusan siswa mencapai 100%.
Pada 1980, dibawah kepemimpinan Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ujian kembali diubah dengan skala nasional yang dikenal dengan
nama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) dan EBTA. Mata pelajaran yang dianggap pokok diujikan dalam EBTANAS, sementara mata pelajaran lain diujikan melalui EBTA. Pada tahun pertama, mata pelajaran yang dimasukan dalam EBTANAS hanya Pendidikan
Moral Pancasila, tetapi pada tahun berikutnya mata pelajaran lain mulai ditambahkan. tamat belajar, yakni [Nilai Semester Ganjil Tahun Terakhir + Nilai Semester Genap Tahun Terakhir + konstanta Nilai Ebtanas Murni (NEM) x NEM] / 2 + konstanta NEM. Adapun nilai ambang batas tamat belajar adalah skor 6.
Dengan kebijakan tersebut, dampak positif yang diberikan adalah nilai bisa digunakan untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, NEM digunakan sebagai pemetaan mutu pendidikan baik di tingkat daerah maupun nasional.
Meski demikian, terdapat dampak negatif dimana sekolah dengan nilai EBTANAS rendah cenderung memanipulasi Nlai Semester Ganjil dan Genap Tahun Terakhir dengan tujuan agar siswa lulus dari ambang batas nilai tamat. Angka kelulusan siswa saat menggunakan sistem ini mencapai 100%.
Sistem ujian EBTANAS yang digunakan selama 22 tahun ini akhirnya diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) pada 2002. Fungsi UAN masih sama dengan EBTANAS yakni digunakan sebagai penentuan kelulusan, pemetaan mutu pendidikan nasional dan seleksi pendaftaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
No Responses