Wacana Pinjaman Pendidikan, UNY Fokus Afirmasi dan Beasiswa

 LAPORAN UTAMA

Wacana Pinjaman Pendidikan mengemuka dalam Pemilu 2019. Hingga saat ini, UNY tidak memiliki kerjasama pinjaman pendidikan dengan bank manapun. Lebih berfokus pada penyaluran kuota afirmasi, beasiswa bidikmisi, dan menyambut gayung Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.

Pendidikan merupakan eskalator bagi warga negera untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi mereka. Oleh karena itu, pemberian pinjaman pendidikan (student loan) yang diusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), disebutkan dapat menjadi alternatif pembiayaan bagi mereka yang hendak memperoleh peningkatan ilmu dan derajat kehidupan. Pinjaman pendidikan akan konstruktif untuk pertumbuhan ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek karena meningkatkan penyerapan pinjaman. Presiden mencontohkan program student loan di Amerika Serikat (AS). Di negara itu, pinjaman pendidikan itu mencapai US$ 1,3 triliun per 2016. Pinjaman bagi mahasiswa itu berada di peringkat kedua setelah pinjaman pemilikan rumah (KPR).

Walaupun demikian, banyak hal yang disebut Prof. Rochmat Wahab selaku Guru Besar UNY dalam mempertimbangkan pinjaman mahasiswa. Mulai dari sistem, pendataan, hingga bagaimana penegakan hukum dari pinjaman pendidikan.

Sehingga sejauh ini, UNY disebut Prof. Sutrisna Wibawa selaku Rektor masih menempatkan kebijakan yang telah dicetuskan secara konkrit oleh pemerintah sebagai prioritas utama. Diantaranya penyaluran kuota afirmasi, beasiswa bidikmisi, dan menyambut gayung Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.

“UNY belum ada kerjasama pinjaman pendidikan. Kami berfokus program pemerintah, afirmasi dan beasiswa,” tegas Sutrisna.

Pendidikan untuk Semua

Fokus atas afirmasi dan beasiswa, disebut Sutrisna telah lama berlangsung di UNY karena hingga saat ini setidak-tidaknya 28% mahasiswa hadir dari golongan kurang mampu. Mereka membayar UKT 1 (Rp. 500.000/semester), UKT 2 (Rp. 1.000.000/semester), bahkan gratis karena beasiswa bidikmisi.

Kebijakan berikutnya yang telah dirumuskan Pemerintah, dan disebut Menristekdikti Prof. Mohamad Nasir akan mulai dilaksanakan paling lambat tahun anggaran 2020, adalah Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP).

Dengan kartu ini diharapkan pemberian beasiswa terintegrasi dengan program-program sosial yang telah dilakukan pemerintah kepada kelompok prasejahtera, seperti Program Keluarga Harapan (PKH),

Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang selama ini ditujukan untuk peserta sekolah dasar dan menengah “UNY juga siap menyambut KIP Kuliah sebagai kerja mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas Sutrisna.

Sedangkan terkait pinjaman pendidikan, pihak kampus hingga saat ini tidak memiliki kerjasama. Apabila ada mahasiswa yang mungkin memiliki pinjaman,
baik terkait pinjaman pendidikan ataupun pinjaman konsumsi seperti kendaraan bermotor, hal tersebut merupakan aktivitas ekonomi yang sifatnya business to business.

“Tidak melibatkan kampus. Hingga saat ini, UNY tidak memiliki kerja- sama pinjaman pendidikan dengan bank manapun. Lebih berfokus pada penyaluran kuota afirmasi, beasiswa bidikmisi, dan menyambut gayung Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah,” ungkap Sutrisna.

Menyulitkan Semua Pihak

Senada dengan kebijakan Sutrisna, Rochmat menyatakan bahwa pin- jaman pendidikan memang sebaik- nya menjadi alternatif terakhir.

Hal tersebut dikarenakan walaupun pinjaman pendidikan dapat menjadi dana bantuan keuangan, ditengah 20% dana pendidikan di APBN yang sejak awal dirancang untuk operasional dan bukan untuk pengembangan pendidikan, namun skema pinjaman ini memberatkan semua pihak.

Bagi mahasiswa, keberatan akan dirasakan karena pinjaman tersebut memiliki kemungkinan untuk tidak dapat dilunasi. Hal ini sudah pernah terbukti ketika skema pinjaman serupa dijalankan di era Orde Baru oleh Bank BNI, dengan tajuk Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).

Rochmat pernah menjalani KMI secara langsung. Pada saat kuliah S1 di IKIP Bandung, ia mengajukan hutang sebesar 750 ribu rupiah. Hutang yang begitu besar pada masa itu, dan baru dilunasi Rochmat pada tahun 1999.

“Karena Tapi beban bunganya rendah karena itu program pemerintah. Tahun 1999 baru saya lunasi satu
juta empat ratus ribu. Itupun karena diingatkan teman. dan hingga kini, masih ada (teman) yang tidak bisa melunasi,” kenang Rochmat.

Kampus juga direpotkan dengan adanya pinjaman pendidikan. Karena ijazahlah yang menjadi jaminan, dan kampus harus menyimpan ijazah tersebut apabila mahasiswa belum melunasi kredit.

“Jadi setelah saya lulus, IKIP Bandung menyerahkan ijazah ke BNI. Jadi agunan bank. Lunas baru dikembalikan. Hal itu berat bagi kampus, karena kalau belum lunas, kampus juga ikut ditagih,” kenang Rochmat.

Mendikbud (2009-2014) Mohammad Nuh mengatakan, data terkait dunia pendidikan juga masih sangat lemah. Karena Single Identity Number, seperti Nomor Induk Kepegawaian yang ada di Indonesia, belum sekuat di Amerika.

“Data sekarang sudah bisa terinegrasi, sehingga bisa memantau keberadaan mahasiswa tersebut setelah lulus dan bekerja. Tapi tetap banyak cerita kan, kredit macet di Indonesia. Itu beban untuk bank, dan untuk peminjam sendiri,” ungkap Nuh.

Pinjaman Bersifat Positif

Meski demikian, Menristekdikti Mohamad Nasir yang dulu juga menerima pinjaman pendidikan KMI, menyatakan bahwa pinjaman pendidikan sebagai hal yang positif. Karena bisa memberi peluang baru untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar Pendidikan.

“Saat ini, masih 37% APK Pendidikan Perguruan Tinggi. Artinya ada 73% anak usia sekolah, yang tidak bisa masuk perguruan tinggi. Walaupun terlepas dari hal tersebut, hingga saat ini belum ada pembahasan khusus terkait wacana student loan. Pinjaman merupakan domain bisnis dan individu,” ungkap Nasir.

Prof Wuryadi selaku Guru Besar FMIPA UNY, juga menyatakan pinjaman pendidikan harus didampingi dengan pemberdayaan masyarakat agar kelak mampu terjamin pendapatannya.

Misalnya lewat perluasan lapangan kerja, dan pendampingan agar mahasiswa bisa merintis usaha.

“Pinjaman pendidikan sangat dibutuhkan. Banyak yang sebetulnya ingin kuliah tapi harus memendam hasrat itu karena khawatir tidak bisa membiayai. Tapi kalau setelah lulus tidak langsung mendapatkan pekerjaan akan repot bagaimana mereka bisa mengembalikan. Oleh karena itu perlu ada pendampingan agar mahasiswa bisa merintis usaha atau disediakan lapangan kerja,” pungkas Wuryadi

No Responses

Comments are closed.