wawancara khusus ; Refleksi Pentingnya Asesmen Nasional untuk Perbaikan Proses Pembelajaran di Kelas

 LAPORAN UTAMA

Reporter Pewara Dinamika, Rofi Ali Majid, mewawancarai Asrijanty, Ph.D. untuk berbincang ihwal program anyar Kemendik- bud, Asesmen Nasional yang digunakan se- bagai pengganti Ujian Nasional (UN). Bagi Asrijanty, Asesmen Nasional akan menun- jang perbaikan proses pembelajaran di kelas menjadi lebih ideal.

Bagaimana proses riset program Asesmen Nasional, Bu?
Kalau ini kan kebijakan baru dengan Pak Nadiem ya, menteri baru, jadi kalau kita lihat bulan Oktober 2019 kan beliau dilantik, terus bulan Desember itu sudah langsung menyampaikan bahwa pada 2021 UN tidak ada lagi, diganti dengan waktu itu sebutannya Asesmen Kompetensi Minimum (AKM).

Kami di kementerian pernah melakukan beberapa kajian terkait Ujian Nasional, tetapi Pak Menteri, kalau menurut hemat kami, sudah mempelajari sebelumnya. Beliau sudah mempelajari dampak UN terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. Konsennya di situ.

Jadi pertama, kalau kita lihat prestasi siswa Indonesia di dunia internasional, yang ditunjukkan dengan hasil Programme for International Student Assessment (PISA). Itu kan kita sejak ikut sejak tahun 2000. Prestasi Indonesia ya tidak ada peningkatan padahal PISA itu boleh dikatakan bersifat internasional

Terus kedua, adanya pengamatan keadaan selama UN ini sebenarnya bisa kita pahami. Ketika UN, fokus di dunia sekolah adalah bagaimana mengejar nilai atau skor yang tinggi. Jadi kalau kita lihat praktiknya di lapangan, ada yang namanya pendalaman materi, misalnya di tahun terakhir. Itu khusus pendalaman materi untuk mata pelajaran yang ada di UN. Jadi seakan akan mata pelajaran lain itu tidak penting.

Kemudian praktik yang terjadi di sekolah adalah penilaiannya mengikuti pola UN. Jadi UN menggunakan pola soal pilihan ganda, karena skalanya besar dan kita perlu wak tu cepat dan objektif, jadi pilihan ganda pa- da umumnya. Dua hingga tiga tahun terakhir kita ada isian singkat, tetapi secara umum pilihan ganda masih sangat dominan.

Model itu dikutip dalam penilaian tingkat sekolah, di kelas juga, padahal banyak kompetensi yang sebenarnya kurang sesuai jika diukur atau dinilai dengan pilihan ganda. Kalau saya sering memberi contoh, misalnya kemampuan menulis, itu seseorang memperoleh nilai pilihan ganda 100, belum tentu kompeten menulis. Itu baru satu, belum lagi potensi lainnya.

Namun itulah yang terjadi, penilaian yang dilakukan oleh pemerintah. UN jadi kiblat, jadi fokus, dan itu jadi semacam prestise untuk sekolah kalau bisa berhasil mendapat nilai UN yang baik.

Akibatnya, kita tidak mendrong berkem- bangnya kompetensi anak secara menyeluruh. Karena fokusnya hanya pada

beberapa kompetensi mata pelajaran tertentu saja. Jadi habis waktu untuk menyiasati agar sukses dapat skor tinggi. Orientasinya seperti itu.

Nah, padahal kalau kita lihat perkembangan, model pembelajaran seperti itu tidak bisa lagi untuk digunakan. Anak perlu disiapkan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan zaman. Jadi dalam kehidupan nyata tidak cukup hanya mengetahui, skor tinggi itu belum tentu nanti mereka menguasai kompetensi.

Kompetensi yang diperlukan itu misalnya berpikir krits, berpikir tingkat tinggi, komunikasi, kolaborasi, kreatif, nah itu semua tidak akan mampu diukur dengan pilihan ganda dalam skala besar.

Apakah UN sangat mempengaruhi pembelajaran di kelas?
Nah, sering misalnya kalau kita tanya ke guru, kenapa bapak atau ibu guru tidak melakukan pembelajaran yang menarik, yang membuat siswa itu tertarik untuk belajar, yang mebuat siswa bisa melihat konteks atau bisa menghubungkan permasalahan dengan apa yang dipelajari?

Jawabannya adalah bahwa kalau nanti pembelajarannya ideal, materi yang diUNkan itu tidak bisa tuntas. Jadi mereka fokus pada, terutama bentuk-bentuk soal atau contoh-contoh pertanyaan yang muncul di UN, itulah yang menjadi fokus. Jadi, artinya UN itu semacam membebani bagi guru, semacam menjadi alasan untuk tidak melakukan pembelajaran yang ideal, termasuk dalam asesmen atau penilaian yang ideal.

Tapi memang itu keadaannya, bahwa UN sebagai standarized test, punya efek seperti itu. Sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia, di negara lain juga, ketika ada standarized test, jadinya yang diajarkan atau yang jadi fokus terbatas pada yang biasa diukur oleh asesmen tersebut.

jadi itu yang menjadi konsen kementerian, dalam hal ini awalnya Pak menteri yang

langsung memutuskan bahwa UN 2021 tidak ada, diganti dengan waktu itu menyebutnya AKM dan Survei Karakter

Nah dalam perkembangannya, sekarang disebut dengan Asesmen Nasional. Jadi As esmen Nasional memang kebijakan untuk menggantikan UN, tetapi fungsinya berbeda. Kalau UN itu mengukur kompetensi individual siswa di akhir jenjang. Karena itu UN, waktu itu diujikan untuk kelas 6,9 dan 12. Bukti hasil individualnya berupa serti- fikat UN.

Sementara itu, Asesmen Nasional tujuannya bukan untuk mengukur capaian individual siswa, melainkan sebagai alat evaluasi terhadap mutu pendidikan kita. Dalam Asesmen Nasional ini, yang diukur tidak hanya capaian hasil belajar siswa, tetapi juga faktor-fak tor yang mempengaruhi pembelajaran.

Lalu, bagaimana cara mengukur semua itu dengan Asesmen Nasional, Bu?
Jadi kalau dalam Asesmen Nasional ada 3 komponen yang digunakan yakni AKM untuk mengukur kemampuan kognitif yang dibagi menjadi 2 yaitu terkait literasi dan numerasi. Selain itu ada pula Survei Karak- ter dan Survei Lingkungan Belajar.

selengkapnya baca dimajalah pewara edisi februari

No Responses

Comments are closed.