“Tak ada lagi orang berkirim surat melalui pos. Amplop dan prangko kini lebih digandrungi untuk dikoleksi atau dimuseumkan. Hampir lima abad jagat perposan mengalami gelombang zaman yang berliku”
Mariadi menyisir rambutnya yang telah memutih itu ke belakang. Minyak rambut yang mengilapkan rambutnya itu membuat ia semakin percaya diri. Ia jamak dikenal khalayak dengan sebutan Pak Pos. Tiga dekade Mariadi tempuh untuk mengabdi mengantarkan surat. Puncak kariernya sebagai penyaji informasi tinggal kenangan. Kini ia hanya kerap mengantarkan surat tagihan dari rumah ke rumah. Asosiasi masyarakat terhadap tukang pos di abad daring tak lagi sama dibanding puluhan tahun lalu: bukan lagi dinanti tapi dihindari.
Bapak dua anak kelahiran Malang tahun 1955 itu mengenang masa kejayaan pos di awal 80-an. “Dulu pemuda-pemudi masih sering ke kantor pos untuk mengantarkan surat,” tuturnya. Mariadi tak heran bila kala itu kantor pos selalu ramai pengunjung, terutama para pelajar maupun mahasiswa. Sebab surat pribadilah yang paling banyak diterima kantor pos. “Mungkin karena pemuda-pemudi di masa itu menulis surat untuk pacarnya yang jauh,” ungkapnya.
Saat Mariadi mengantarkan surat, bahkan ia baru membuka gerbang rumah, pemilik rumah sontak gayung bersambut secara girang. Ia mengamini kalau di masa lalu kehadiran Pak Pos sedemikian berarti. “Karena si penerima akan memperoleh pesan dari orang lain. Entah dari keluarga, teman, atau kepentingan korporasi,” tuturnya. Interaksi antara Pak Pos dan penerima surat acap kali berlanjut pada obrolan lain. “Saya dulu sering mendapatkan minum atau uang buat beli rokok, Mas.”
Masuk tahun 2000, alih-alih Mariadi mendapatkan atensi hangat, malahan ia sering diacuhkan. “Walah, Pak, surat tagihan aja diantarkan,” tiru Mariadi kepada reporter Pewara Dinamika. Tak pelak jika surat dari kantor pos dikonotasikan sebagai perpanjangan penagih utang atau pensiunan. Widiatmojo, 47 tahun, membenarkan hal tersebut. Dari dua puluh surat yang diantarkan, dua di antaranya adalah surat tagihan.
Akibatnya ia juga kerap menerima sikap kurang bersahabat dari pemilik rumah. “Kalau dulu saya sering mendapatkan ucapan terima kasih. Walaupun itu cuma ucapan terima kasih, saya sudah senang,” katanya, seperti dikutip Kompas.com. Masa-masa itu membuat ia sebagai tukang pos merasa puas karena telah menyampaikan amanah dengan baik.
***
Meredupnya Pos Indonesia sebagai pengantar informasi marayakat ditandai oleh kemunculan surel (surat elektronik) di awal 90-an. Apalagi, sepuluh tahun setelahnya, popularitas telepon genggam menarik individu untuk menggunakannya sebagai alat komunikasi primer. Kedua alat komunikasi modern itulah yang kini digandrungi masyarakat. Di samping menawarkan kecepatan pengiriman informasi dalam hitungan detik, ia juga terjangkau secara finansial. Di sini berlaku hukum efektivitas penggunaan yang memudahkan.
Faka, mahasiswa semester akhir asal Sumbawa, mengungkapkan kelebihan penggunaan surel. “Sekarang apa-apa harus menggunakan e-mail, terutama urusan tugas kuliah. Dosen-dosen juga mengharuskan mahasiswanya mengumpulkan tugas melalui e-mail,” ungkapnya. Kendati demikian, Faka juga masih sering mengirimkan atau menerima barang melalui kantor pos. Orang tuanya di Sumbawa masih memercayakan kantor pos sebagai tempat pengiriman barang. “Kantor pos itu bisa dipercaya untuk mengirim apa pun,” jelasnya.
Kuantitas pengguna internet dari tahun ke tahun semakin fantastis. Dilansir dari US Census Bureau InternetWorldStats, pengguna internet di Indonesia mencapai 38.191.873. Angka tersebut senada dengan posisi Indonesia sebagai pengguna internet terbanyak di dunia. Tak heran kalau kantor pos semakin ditinggalkan sebagai penyampai informasi. Karena melalui internet penyampaian informasi seratus persen lebih cepat. Namun, pukulan zaman yang dihadapi kantor pos hari ini sejatinya merupakan pukulan yang kedua.
Pukulan pertama terjadi tatkala sekutu Hindia-Belanda masih menduduki Nusantara. Pada masa itu Bumiputra maupun kolonial Belanda dikejutkan oleh telegraf dan telepon. Tahun 1809, Samuel Thomas von Sömmering, menemukan telegraf elektrik pertama kali. Dua puluh delapan tahun berikutnya, Samuel F. B. Morse dan asistennya Alfred Vail, mematenkan telegraf di Amerika Serikat. Beberapa tahun setelahnya diikuti telepon yang dikembangkan Alexander Graham Bell pada 1877.
Dua abad sebelumnya, pada 1602, jagat perposan di Nusantara yang diinisiasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), telah lama eksis di antara para raja-raja maupun pegawai Belanda. Selama berpuluh-puluh tahun pos digunakan sebagai alat komunikasi antarkerajaan di Nusantara maupun dengan kerajaan Belanda. Menurut data dari Museum Pos Indonesia di Bandung, para raja di Nusantara dahulu sering berkirim surat menggunakan tinta emas. “British Council juga masih menyimpan rapi surat bertinta emas itu di London,” kata Yaya Satiya, petugas Museum Pos, seperti dilansir Kompas.com.
Yang juga luput dari perhatian umum adalah momen Sumpah Pemuda niscaya menggunakan korespondensi. Surat-menyurat dihela untuk menggolkan kesepakatan. Entah bersepakat kapan dan di mana Sumpah Pemuda hendak diselenggarakan maupun siapa saja perwakilan yang akan diundang. Situasi itu mustahil terwujud tanpa bantuan pengantar surat. Pos mempertautkan mereka yang dipisahkan jarak.
Pada masa kerajaan Nusantara, pos masih diposisikan tinggi oleh raja. Ia sering kali menghubungkan dua kerajaan atau lebih dalam hal diplomasi. Zaman itu belum dikenal tukang pos sebagai pengirim surat karena proses pengiriman dilakukan para utusan kerajaan. Meski demikian, di tiap kota strategis seperti Bukittinggi, Medan, Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Banda Neira, Ende, maupun Surabaya, terdapat kantor pos sebagai tempat sirkulasi. Kantor tersebut digunakan sebagai tempat pengecekan apakah surat yang dikirimkan sudah sampai atau belum. “Surat dan paket pos diletakan di sana. Jadi, orang yang akan merasa menerima surat atau paket harus rajin mengecek di tempat itu.”
Kemunculan telegraf dan telepon memukul eksistensi pos masa itu. Birokrasi kerajaan maupun kolonial Belanda berubah. Yang semula berbasis surat-menyurat, pada akhirnya diganti berbasis elektronik. Kantor gubernurmen langsung merespons kebutuhan dengan memasang telegraf maupun telepon. Namun, kehadiran alat komunikasi elektronik tersebut tak semata-mata mendesak dunia perangko, amplop, dan secarik kertas berisi informasi hengkang dari Nusantara.
Menurut Kasijanto, sejarawan UI, surat-surat di zaman Belanda bersifat elitis. Menurutnya, kebanyakan surat pada masa itu didominasi oleh surat yang berkaitan dengan pemerintahan Belanda. “Jadi, surat-surat itu artinya hanya digunakan oleh orang-orang yang melek huruf saja,” tuturnya. Walau surat berkelindan dengan urusan administratif semata, distribusi pada masa itu terbilang sederhana karena memanfaatkan kuda sebagai alat transportasi.
Tahun-tahun berikutnya sepeda, mobil, kapal laut, maupun pesawat pun digunakan. Semata-mata diharapkan agar surat dapat tersampaikan dengan cepat. Kalau dahulu harus menunggu berbulan-bulan untuk menyampaikan surat, kini dengan bantuan alat transportasi modern, ia dapat disampaikan dengan hitungan hari. Meskipun ia tak bisa mengalahkan surel dalam urusan kecepatan.
Pos Indonesia sekarang ini melakukan gebrakan sesuai kebutuhan masyarakat. Secara garis besar, Pos Indonesia membagi lingkup bisnisnya menjadi dua, yakni Jasa Keuangan dan Bisnis Surat Paket. Itu semua dilakukan demi pengabdian kepada masyarakat Nusantara yang telah ditenun selama 270 tahun.
No Responses